14 Desember 2010

fiqh ikhtilaf (masalah berkumpul, dzikir, tahlilah, bersalaman stlh sholat, dll)

Sebuah Realitas Umat yang Harus dibenahi Oleh MUHAMMAD SIHAB ALI, S.E.I Dikutib dari 1. Ust. Suparman Abdul Kariem 2. Dr. Muhammad Al-Maliki Al-Hasani “a papun Mahzab nya, jadikan ukhuwah sebagai parameternya” KATA PENGANTAR Segala Puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam yang menghidupkan dan yang mematikan, penggenggam langit dan bumi dan semua yang ada diantara keduanya, semoga kita selalu mendapatkan taufik dan hidayah-Nya agar mampu melihat segala sesuatu dengan mutiara ilmu-Nya yang maha luas sehingga laut dan rangting-rangting tak akan cukup untuk menuliskan ilmu-ilmu-Nya. Sholawat beserta salam semoga selalu tercurah kepada sayyidina agung Muhammad SAW yang merupakan suri tauladan umat manusia, seorang reformis sejati yang tidak mau makan jika ada umatnya yang masih dalam kelaparan, yang mendo’akan keselamatan umatnya setiap sehabis sholat beliau, yang rela menyebut-nyebut umatya disaat malaikat –dengan izin Allah- akan mencabut nyawa beliau yang agung. Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa dzhuriyyatihi, wa shahbihi ajmaiin. Semoga kita kelak mendapatkan syafaat beliau –dengan izin Allah- di akhirat, Amiin. Saat ini, banyak dari kalangan umat muslim sendiri dengan lantang menyalahkan saudara nya sendiri dengan menyebut nya sebagai ahlul bid’ah –dholalah-. Betapa ekstremnya kelompok ini -karena bid’ah –dholalah- adalah dibawah kekafiran- gara-gara karena yang mereka kecam tersebut tidak sepaham dengan apa yang mereka yakini kebenaranya, padahal Ibn al-Qoyyim Al-Jauziyah pernah berkata “Betapa banyak orang yang menyalahkan pandapat yang benar, bukan karena pendapat itu salah. Namun disebab karena pemahaman yang tidak benar”. Alangkah baiknya jika umat dizaman sekarang bersatu padu tanpa saling menyalahkan masalah furu’iyyah –Ikhtikaf-. Ingat! Alangkah mudahnya bagi musuh islam untuk merobohkan persatuan umat islam ini jika dalam tubuhnya sendiri tercerai berai, saling bermusuhan, saling mengkafirkan, saling membid’ahkan, bahkan dikarenakan pemahaman yang salah seorang anak berani membentak ayahnya sendiri. Untuk itu ukhuwah islamiyah adalah yang utama dengan berpondasikan akidah yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama. Waspadalah dengan musuh-musuh Islam yang menyusup dari dalam tubuh Islam dan hendaknya umat muslim memperhatikan hadis yang berbunyi : مَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ اَوْ قَالَ عَدُوُّ اللهِ وَليْسَََ كَذَا لِكَ اِلاََّ حَارَعَلَيْهِ اَيْ رَجَعَ Artinya : “ siapa yang memenggil seseorang dengan (panggilan) “ hai kafir” atau ia mengatakan “hai musuh Allah SWT.” Dan ternyata hal itu tidak terbukti, maka hal (cap) itu kembali kepadanya”. (H.R. Imam Muslim). Semoga kita digolongkan kita digolongkan menjadi orang-orang yang shalih yang dapat menjaga ukhuwah islamiyah –Amanat ini- sehingga digolongkan hamba yang selalu mendapat petunjuk. Amiin Bandar Lampung, 11 Desembem 2010 Muhammad Sihab Ali, S.E.IDaftar Isi Cover 1 Kata Pengantar 2 Daftar Isi 3 Dalil Berkumpul 4 Dalil-dalil majelis dzikir (dzikir bersama) 7 Berdoa menghadiahkan pahala 11 Fatwa-fatwa menghadiahkan pahala 12 Keterangan tentang menghadiahkan pahala 15 Keutamaan mendoakan orang lain 18 Tentang pengkhususan pembacaan al-fatihah 19 Istilah tujuh hari dalam tahlil 21 Bagaimana Menyikapi Khilafiyah? 22 A. Antara khilafiyah dan bid’ah 22 B. Khilafiyah yang terbid’ahkan 23 C. Khilafiyah yang terlanjur dibid’ahkan 23 1) Mengangkat tangan ketika berdoa 23 2) Mengusapkan tangan kewajah usai berdoa 23 3) Dua azan pada sholat jum’at 24 4) Sholat sunah diantara dua azan jumat 25 5) Khatib memegang tongkat ketika berkothbah 26 6) Tentang hadis larangan bercakap-cakap dan sholawat 27 7) Doa qunut 28 8) Tentang sholat sunah rawatib 30 9) Tentang bilangan sholat terawih 32 10) Tentang lafadz ushalli 33 11) Hukum berjabat tangan setelah sholat 34 D. Tentang bermahzab 35 Ukhuwah Islamiyah 37 Jangan Berbantah-bantahan (Jauhi Berdebat dan Berselisih) 41 Tawasul 43 Hadis tentang bertawasulnya nabi Adam as kepada Nabi Muhammad saw 45 Dalil berkumpul Tanya: adakah dalilnya orang yang mengadakan perkumpulan untuk membaca al-Qur’an dan berdzikir?. Sebagaimana yang telah berlaku dalam acara-acara Tahlilan. Jawab: Ada, bahkan bersumber dari hadits yang shahih, yakni: عَنْ اَبىِ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتِ مِنْ بُيُوْتِ الله ِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ الله ِوَيـَتَدَارَسُوْنـَهُ بَيْنَهُمْ اِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلـئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ الله ُفِيْمَنْ عِنْدَهُ (سنن ابن ماجهن, ٢٢١) Artinya: Dari Abu Hurairah ra., Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah berkumpul suatu kaum didalam salah satu rumah Allah, sambil membaca al-Qur’an bersama, kemudian mempelajarinya bersama, kecuali akan diturunkan kepada mereka ketenangan, akan dikucurkan rahmat, malaikat akan mengerumuni mereka dan Allah SWT.akan memuji mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya”. (Sunan Ibnu Majah, 221) Dari hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: عَنْ أَبِى سَعِيْدِ اَلْخُدْرِى قَالَ ، قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ الله َعَزَّ وَجَلَّ اِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلـئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ الله ُفِيْمَنْ عِنْدَهُ (صحيح مسلم، ٤٨٦٨) Artinya: Dari Abi Sa’id Al-Khudri ra., Ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir (menyebut) asma Allah SWT.‘Azza wa Jalla, kecuali mereka akan dikerumuni para Malaikat, akan mengucur rahmat bagi mereka, akan diturunkan ketenangan (di hati) mereka, dan Allah SWT.akan mengingat (menyebut) mereka pula di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (Shahih Muslim, 4868). 2. Hukum Berkumpul Tanya: Jadi apa hukumnya mengadakan perkumpulan untuk membaca al-Qur’an dan berdzikir, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat Indonesia?. Jawab: Hukumnya boleh (Jaiz). Imam Asy-Syaukani berkata: اَلْعَادَةُ الْجَارِيَةُ فِى بَعْضِ الْبُلْدَانِ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ فِى الْمَسْجِدِ لِتِلاَوَةِ الْقُرْآن ِعَلَى اْلاَمْوَاتِ. وَكَذَلِكَ فِى الْبُيُوْتِ وَسَائِرِ اْلاِجْتِمَاعَاتِ الَّتِى لَمْ تَرِدْ فِى الشَّرِيْعَةِ، لاَ شَكَّ اِنْ كَانَتْ خَالِيَةً عَنْ مَعْصِيَةٍ سَلِيْمَةٍ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ فَهِى جَائِزَةُ َلأَ نَّ اْلإِجْتِمَاعَ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ بِنَفْسِهِ لاَ سِيَّمَا اِذَا كَانَ لِتَحْصِيْلِ طَاعَةٍ كَالتِّلاَوَةِ وَنَحْوِهَا وَلاَ يُقْدَحُ فِى ذَلِكَ كَوْنُ تِلْكَ التِّلاَوَةِ مَجْعُوْلَةً لِلْمَيِّتِ فَقَدْ وَرَدَجِنْسُ التِّلاَوَةِ مِنَ الْجَمَاعَةِ الْمُجْتَمِعِيْنَ كَمَا فِى حَدِيْثِ "اِقْرَؤُوْ يـس عَلَى مَوْتَاكُمْ" وَهُوَ حَدِيْثُ صَحِيْحُ، وَلاَ فَرَقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ يـس مِنَ الْجَمَاعَةِ الْحَاضِرِيْنَ عِنْدَ الْمَيِّتِ اَوْ عَلَى قَبْرِهِ وَبَيْنَ تِلاَوَةِ جَمِيْعِ الْقُرْآن ِاَوْ بَعْضِهِ لِمَيِّتِ فِى مَسْجِدِهِ اَوْ بَيْتِهِ (الرسائل السلفية: ٤٦) Artinya: “Kebiasaan disebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (Jaiz), jika didalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara zhahir) dari syari’at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukan sesuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di dalamnya di isi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur’an atau yang lainnya. Dan tidaklah salah menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau yang lainnya kepada orang yang telah mati. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti "اِقْرَؤُوْ يـس عَلَى مَوْتَاكُمْ" (Bacalah surat Yasin kepada orang mati diantara kamu). Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau diatas kuburnya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagiannya, baik dilakukan di Masjid atau di rumah” (Ar-Rasâ’il As-Salafiyyah, 46) Tanya: Lalu bagaimana jika ada pernyataan yang mengatakan pekerjaan ini bid’ah?. Jawab: Anggapan tersebut tidak benar. Jikapun ada yang enggan melakukan pekerjaan ini tidak apa-apa. Namun jika ada yang menghukuminya bid’ah atau sesat ini termasuk sikap yang ekstrem dan provokatif (bisa menimbulkan perpecahan). Nabi SAW sendiri tidak pernah melarangnya, lalu mengapa ada yang melarangnya. Berikut keterangannya: Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri: عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: خَرَجَ مُعَاوِيَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى حَلْقَةٍ فِىالْمَسْجِدِ, فَقَالَ: مَااَجْلَسَكُمْ؟, قَالُوْا: جَلَسْنَا نَذْكُرُاللهَ, قَالَ: اللهُ مَااَجْلَسَكُمْ اِلاَّ ذَالِكَ؟, قَالُوْا: مَااَجْلَسَنَا اِلاَّ ذَالِكَ, قَالَ: اَمَّا اِنِّى لَمْ اَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ, وَمَا كَانَ اَحَدٌ بِمَنْزِلَتِى مِنْ رَسُوْلِ اللهِ ص اَقَلَّ عَنْهُ حَدِيْثًامِنِّى, اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ اَصْحَابِهِ, فَقَالَ: فَقَالَ: مَااَجْلَسَكُمْ؟, قَالُوْا: جَلَسْنَا نَذْكُرُاللهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلأِسْلاَمِ, وَمَنَّ بِـهِ عَلَيْـنَا, قَالَ: اَللهِ مَا اَجْلَسَكُمْ اِلاَّ ذَالِكَ؟, اَمَا اِنِّى لَمْ اَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِـنَّهُ اَتَانِى جِبْرِيْلُ فَاَخْبَرَنِى: "اِنَّ اللهَ يُـبَاهِى بِكُمُ الْمَلاَئِكَةَ" (رواه مسلم). Artinya: Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra., ia berkata: “Mu’awiyah ra., keluar menjumpai orang yang sedang berkumpul di Masjid, lalu bertanya: “Apakah alasan kalian duduk (berkumpul di majelis)?”, Orang-orang itu menjawab: “Kami duduk sedang berdzikir kepada Allah”. Mu’awiyah bertanya: “Demi Allah, tidak ada alasan kalian berkumpul kecuali berdzikir kepada Allah?”. Mereka menjawab: “Tidak ada alasan lain bagi kami berkumpul kecuali hal itu”. Mu’awiyah berkata: “Sungguh aku tidak akan menyuruh kalian bersumpah kerena menuduh (berburuk sangka) kepada kalian. Tidak seorang pun seperti aku di sisi Rasulullah SAW yang sangat sedikit menerima hadits seperti aku. Sungguh Rasulullah pernah keluar menjumpai majelis para sahabatnya, lalu beliau bertanya: “Apa yang membuat kalian duduk (berkumpul)?”, Para sahabat menjawab: “Kami duduk berdzikir kepada Allah SWT.dan memuji-Nya atas nikmat yang telah Ia karuniakan kepada kami untuk memeluk agama Islam”. Rasulullah SAW bersabda: “Demi Allah SWT.kalian hanya duduk kartena itu?”, Mereka menjawab: “Demi Allah, tidak ada alasan lain bagi kami berkumpul kecuali karena itu”. Mu’awiyah berkata: “Sungguh aku tidak akan menyuruh kalian bersumpah kerena menuduh kalian, tetapi telah datang malaikat Jibril mengabarkan bahwa: “Allah SWT.membanggakan kalian kepada para malaikatnya”. (HR. Muslim). Selanjutnya Imam Asy-Syaukani berkata: فَقَدْ كَانَ الصَّحَابَةُ الرَّاشِدُوْنَ يَجْتَمِعُوْنَ فِى بُيُوْتِهِمْ وَفِى مَسَاجِدِهِمْ وَبَيْنَهُمْ نَبِيِّهِمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيـَتَنَاشَدُوْنَ اْلأَشْعَارَ وَيَتَذَاكَرُوْنَ اْلاَخْبَرَ وَيَأْكُلُوْنَ وَيَشْرَبُوْنَ . فَمَنْ زَعَمَ اَنَّ اْلاِجْتِمَاعَ الْخَالِيَ عَنِ الْحَرَامِ بِدْعَةٌ فَقَدْ أَخْطَأَ فَإِنَّ الْبِدْعَةَ الَّتِى تُبْـتَدَعُ فِى الدِّيْنِ وَلَيْسَ هَذَا مِنْ ذَلِكَ (الرسائل السلفية: ٤٦) Artinya: “Para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau di dalam Masjid, mengungkapkan syair-syair, mendiskusikan hadits-hadits dan kemudian mereka makan dan minum, padahal di tengah-tengah mereka ada Nabi SAW. Orang yang berpendapat bahwa melaksanakan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan-perbuatan haram adalah bid’ah, maka ia salah, karena sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan ini, tidak termasuk bid’ah (Ar-Rasâ’il As-Salafiyyah, 46) Berdasarkan keterangan diatas dapat dipahami bahwa Nabi SAW sendiri tidak pernah melarang adanya perkumpulan menyelenggarakan majelis dzikir. Sangat disayangkan jika ada orang yang melarang, membid’ahkan bahkan mengharamkannya. Selain itu, tidak ada satu pun dalil yang melarang kebiasaan mengadakan perkumpulan untuk membaca al-Qur’an dan berdzikir. Jadi sungguh berlebih-lebihan orang yang melarangnya atau menyalahkannya. Berdasarkan dalil-dalil umum yang ada di Al-Qur’an justeru menganjurkan dzikir dalam berbagai keadaan dianjurkan. Antara lain: يَأَيـُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوا اذْكُرُاللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman berdzikirlah kepada Allah SWT.dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya” (QS. اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِى خَلْقِ السَّموَاتِ وَاْلاَرْضِ رَبَّـنَا مَا خَلَقْتَ هذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (ال عمران:١٩١) Artinya: “(Orang yang berakal adalah) orang-orang yang berdzikir (ingat) kepada Allah SWT.dalam keadaan berdiri, dalam keadaan duduk atau dalam keadaan berbaring, kemudian mereka memikirkan tentang penciptaan segala sesuatu di kangit dan di bumi seraya berkata ‘Ya Tuhan kami tiadalah Engkau menciptakan ini semua dengan sia-sia, Maha Suci Engkau hindarkanlah kami dari azab api neraka” (QS. Ali Imran: 191). Firman Allah SWT.dalam hadits qudshi: اَنَا عِنْدَ ظَنَّ عَبْدِى بِى وَاَنَا مَعَهُ اِذَا ذَكَرَنِى فَاِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى, وَاِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلاَءٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلاَءٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ (رواه الترمذى) Artnya: “Aku seperti yang diprasangka hamba-Ku tentang Aku, dan Aku akan bersamanya jika ia berdzikir (mengingati) Aku. Jika ia mengingat Aku pada dirinya maka Aku akan menyebutnya pada diri-Ku, dan apabila ia mengingat Aku bersama dalam majelis, maka Aku akan menyebutnya dalam majelis yang lebih mulia” (HR. At-Tirmidzi). Dalil-dalil Majelis Dzikir (Dzikir Bersama) Allah SWT.Ta'ala Berfirman: Artinya: "Dan Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas" (Q.S. Al-Kahfi: 28). Mengenai ayat ini telah disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa: وَقَوْلُهُ "          " أَيْ اَجْلَسَ مَعَ الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ وَيُهْلِلُوْنَهُ وَيُحْمَدُوْنَهُ وَيُسَبِّحُوْنَهَ وَيُكَبِّرُوْنَهُ وَيُسْأَلُوْنَهُ بُكْرَةً وَعَشِيًا. (تفسير إبن كثير, ج. 5, ص. 115). Artinya: Firman Allah: "Dan Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; yakni bersabar untuk duduk dengan orang-orang yang sedang berdzikir kepada Allah, yang mereka sedang ber-tahlil, ber-tahmid (memuji-Nya), ber-tasbih (mensucikan-Nya), ber-Takbir (membesarkan-Nya), dan mereka sedang meminta kepada-Nya, baik di pagi maupun petang hari" (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah at-Taufiqiyah, Juz 5, hlm. 115). Selanjutnya Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan beberapa hadits-hadits untuk mempertegas maksud ayat ini: Artinya: Dari Abi Hurairah dan Abi Sa'id, keduanya berkata: telah datang Rasulullah SAW sedangkan ada seseorang yang sedang membaca surat Al-Hajj atau surat Al-Kahfi (yakni surat Al-Kahfi ayat 28 diatas). Kemudian diam dan Rasulullah SAW bersabda: "Inilah Majelis yang aku diperintahkan agar duduk bersabar bersama mereka". (H.R. Ahmad dan Al-Hafizh Abu Bakr Al-Bazari). Artinya: Dari Anas bin Malik bahwa diriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: "Tidaklah suatu kaum yang berkumpul yang mereka sedang berdzikir kepada Allah, yang hanya mengharapkan keridha'an-Nya, kecuali pasti akan ada yang menyeru mereka, Malaikat penyeru dari langit: "Akan ditetapkan ampunan untuk kalian dan telah diganti semua kesalahan kalian dengan kebaikan (pahala)". (H.R. Ahmad). Selanjutnya disebutkan pula dalam riwayat Imam Thabrani dari Sahal bin Hanif bahwa berkenaan dengan ayat ini Rasulullah SAW telah bersabda: اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَعَلَ فِيْ أُمَّتِيْ مَنْ أَمَرَنِيْ أَنْ أَصْبِرَ نَفْسِيْ مَعَهُمْ (رواه الطبراني). Artinya: "Segala puji bagi Allah SWT.yang telah mendatangkan di tengah umat-Ku orang-orang yang aku diperintahkan agar bersabar duduk bersama mereka" (H.R. ath-Thabrani). (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 5, hlm. 116-117). Imam Nawawi dalam kitab Riyâdhus-Shâlihîn juga telah mengambil surat Al-Kahfi ayat 28 diatas sebagai dalil keutamaan Majelis Dzikir. Beliau juga telah mencantumkan hadits-hadits Shahih untuk menegaskan keutamaan "Majelis Dzikir". Yakni antara lain sebagai berikut: Hadits Pertama: قَالَ رَسُولُ اللهِ : إِنَّ ِللهِ مَلاَئِكَةً يَطُوْفُوْنَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُوْنَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوْا قَوْمًا يَذْكُرُوْنَ اللهَ  تَنَادَوْا هَلُمُّوْا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّوْنَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا. قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ -وَهُوَ أَعْلَمُ- مَا يَقُولُ عِبَادِي؟, قَالُوْا: يَقُوْلُوْنَ يُسَبِّحُوْنَكَ وَيُكَبِّرُوْنَكَ وَيَحْمَدُوْنَكَ وَيُمَجِّدُوْنَكَ. فَيَقُوْلُ: هَلْ رَأَوْنِي؟. فَيَقُولُوْنَ: لاَ وَاللهِ مَا رَأَوْكَ. فَيَقُوْلُ: وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي؟, يَقُوْلُوْنَ: لَوْ رَأَوْكَ كَانُوْا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً, وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا. يَقُولُ: فَمَا يَسْأَلُوْنِيْ؟, يَقُوْلُوْنَ: يَسْأَلُوْنَكَ الْجَنَّةَ. يَقُولُ: وَهَلْ رَأَوْهَا؟, يَقُوْلُوْنَ: لاَ وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا. يَقُوْلُ: فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا؟, يَقُوْلُوْنَ: لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً. قَالَ: فَمِمَّ يَتَعَوَّذُوْنَ؟, يَقُوْلُوْنَ: مِنَ النَّارِ. قَالَ يَقُوْلُ: وَهَلْ رَأَوْهَا؟, قَالَ يَقُوْلُوْنَ: لاَ وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا. يَقُولُ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟, يَقُوْلُوْنَ: لَوْ رَأَوْهَا كَانُوْا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً. فَيَقُولُ: فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ. قَالَ يَقُوْلُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ: فِيْهِمْ فُلاَنٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ, قَالَ: هُمُ الْجُلَسَاءُ لاَ يَشْقَى بِهِمْ جَلِيْسُهُمْ. (رواه البخاري, ومسلم والترمذى). Artinya: Rasulullah SAW telah bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT.Ta'ala mempunyai malaikat-malaikat yang tugasnya berkeliaran di jalan-jalan dalam rangka mencari ahli-ahli dzikir. Apabila mereka menjumpai suatu kaum (yang berkumpul) dalam keadaan berdzikir kepada Allah SWT.Azza wa Jalla, maka merekapun saling memanggil: "Datanglah kemari kepada hajat kalian". Para malaikat itu pun akan mengerumuni ahli-ahli dzikir dengan membentangkan sayap-sayap mereka hingga mencapai langit dunia. Selanjutnya Allah SWT.bertanya –sedang Dia Maha Tahu- "Apa yang diucapkan oleh para hamba-Ku?"; para Malaikat menjawab: "Mereka bertasbih kepada-Mu, bertakbir kepada-Mu, memuji-Mu, dan mengagungkan-Mu". Allah SWT.bertanya: "Apakah mereka melihat-Ku?"; Para Malaikat menjawab: "Tidak demi Allah, mereka tidak melihat-Mu". Allah SWT.bertanya: "Bagaimana jika mereka melihat-Ku?"; Para Malaikat menjawab: "Jika mereka melihat-Mu, maka mereka akan lebih tekun lagi menyembah-Mu, lebih bersungguh-sungguh mengagungkan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu". Allah SWT.bertanya: "Lalu apakah yang mereka minta?"; Para Malaikat menjawab: "Mereka meminta surga kepada-Mu". Allah SWT.bertanya: "Apakah mereka melihat surga itu?"; Para Malaikat menjawab: "Tidak demi Allah, mereka tidak pernah melihat surga itu". Allah SWT.bertanya: "lalu bagaimana jika mereka melihat surga itu?"; Para Malaikat menjawab: "Jika mereka melihat surga itu, maka semakin kuat keinginan mereka untuk meraih surga, mereka akan selalu meminta dan mendambakannya dengan sangat". Allah SWT.bertanya: "Dari apakah mereka memohon perlindungan?". Para Malaikat menjawab: "Mereka memohon perlindungan dari neraka". Allah SWT.bertanya: "Apakah mereka melihatnya?". Para Malaikat menjawab: "Tidak demi Allah, mereka tidak pernah melihatnya". Allah SWT.bertanya: "lalu bagaimana jika mereka melihatnya?". Para Malaikat menjawab: "Jika mereka melihatnya maka mereka akan menjauhinya dan semakin takut padanya". Allah SWT.kemudian berfirman: "Maka saksikanlah oleh kalian bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka". Ada salah satu malaikat yang menyela: "Diantara mereka ada si Fulan yang tidak termasuk mereka, ia datang untuk kepentingan pribadi (bukan mencari keridha'an Allah)"; lalu Allah SWT.berfirman: "Mereka yang sama-sama duduk berkumpul tidak akan dirugikan oleh teman duduk mereka yang lain" (yang datang untuk hajat yang salah) (H.R. Al-Bukhari, no. 6408, Muslim, no. 2689, dan at-Tirmidzi, no. 3595). Hadits Kedua: لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ  إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم والترمذى). Artinya: "Tidaklah duduk-duduk berkumpul suatu kaum yang mereka dalam keadaan berdzikir kepada Allah, kecuali (pasti) mereka akan dikerumuni oleh para Malaikat, dicurahkan atas mereka rahmat, diturunkan atas mereka ketenangan, dan mereka akan disebut-sebut oleh Allah SWT.dihadapan para malaikat di sisi-Nya. (H.R. Muslim, no. 2700 dan at-Tirmidzi, no. 3375). Hadits Ketiga: عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: خَرَجَ مُعَاوِيَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى حَلْقَةٍ فِىالْمَسْجِدِ, فَقَالَ: مَااَجْلَسَكُمْ؟, قَالُوْا: جَلَسْنَا نَذْكُرُاللهَ, قَالَ: اللهُ مَااَجْلَسَكُمْ اِلاَّ ذَالِكَ؟, قَالُوْا: مَااَجْلَسَنَا اِلاَّ ذَالِكَ, قَالَ: اَمَّا اِنِّى لَمْ اَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ, وَمَا كَانَ اَحَدٌ بِمَنْزِلَتِى مِنْ رَسُوْلِ اللهِ ص اَقَلَّ عَنْهُ حَدِيْثًامِنِّى, اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ  خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ اَصْحَابِهِ, فَقَالَ: فَقَالَ: مَااَجْلَسَكُمْ؟, قَالُوْا: جَلَسْنَا نَذْكُرُاللهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلأِسْلاَمِ, وَمَنَّ بِـهِ عَلَيْـنَا, قَالَ: اَللهِ مَا اَجْلَسَكُمْ اِلاَّ ذَالِكَ؟, اَمَا اِنِّى لَمْ اَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِـنَّهُ اَتَانِى جِبْرِيْلُ فَاَخْبَرَنِى: "أَنَّ اللهَ يُـبَاهِى بِكُمُ الْمَلاَئِكَةَ" (رواه مسلم, والتمذى, وأحمد). Artinya: Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra., ia berkata: “Mu’awiyah ra., keluar menjumpai orang yang sedang berkumpul di Masjid, lalu bertanya: “Apakah alasan kalian duduk (berkumpul di majelis)?”, Orang-orang itu menjawab: “Kami duduk sedang berdzikir kepada Allah”. Mu’awiyah bertanya: “Demi Allah, tidak ada alasan kalian berkumpul kecuali berdzikir kepada Allah?”. Mereka menjawab: “Tidak ada alasan lain bagi kami berkumpul kecuali hal itu”. Mu’awiyah berkata: “Sungguh aku tidak akan menyuruh kalian bersumpah kerena menuduh (berburuk sangka) kepada kalian. Tidak seorang pun seperti aku di sisi Rasulullah SAW yang sangat sedikit menerima hadits seperti aku. Sungguh Rasulullah pernah keluar menjumpai majelis para sahabatnya, lalu beliau bertanya: “Apa yang membuat kalian duduk (berkumpul)?”, Para sahabat menjawab: “Kami duduk berdzikir kepada Allah SWT.dan memuji-Nya atas nikmat yang telah Ia karuniakan kepada kami untuk memeluk agama Islam”. Rasulullah SAW bersabda: “Demi Allah SWT.kalian hanya duduk karena itu?”, Mereka menjawab: “Demi Allah, tidak ada alasan lain bagi kami berkumpul kecuali karena itu”. Rasulullah SAW berkata: “Sungguh aku tidak akan menyuruh kalian bersumpah kerena menuduh kalian, tetapi telah datang malaikat Jibril mengabarkan bahwa: “Sesungguhnya Allah SWT.membangga-banggakan kalian di hadapan para malaikatnya”. (Shahih Muslim, no. 2701; Sunan At-Tirmidzi, no. 3301; dan Musnad Ahmad, no. 16232). Dalil-dalil yang telah diuraikan ini merupakan dalil-dalil yang terang, shahih lagi rajih mengenai keutamaan berkumpul dalam majelis dzikir. Kami beristidlal dengan dalil ini dalam mengamalkan majelis dzikir yang umumnya disebut dengan istilah tahlilan. Telepas antum sepakat atau tidak dengan "Tahlilan", tetapi setelah membaca dalil-dalil ini saya yakin antum sependapat bahwa: "Berkumpul dalam majelis dzikir merupakan auatu kemuliaan yang sangat besar disisi Allah SWT.Azza wa Jalla". Berdo’a Dan Menghadiahkan Pahala Disini akan dibahas tentang mendo’akan orang yang telah mati dan meghadiahkan pahala ibadah kepada orang lain. Ibadah yang diahadiahkan ini antara lain, pahala membaca Al-Qur’an (termasuk Yasin), pahala shadaqah, puasa sunnah, shalat sunnah, haji, dan ibadah lainnya. Tanya: Apakah do’a dan pahala ibadah kita yang dihadiahkan dapat sampai kepada orang yang telah meninggal dunia?. Jawab: Ada beberapa penjelasan untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu: Pertama, perkara yang ditanyakan ini merupakan perkara khilafiyah, yakni telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ahli hukum (mujtahid). Sebagaimana ungkapan Imam Asy-Syaukani: وَقَدِ اخْتَلَفَ فِى غَيْرِ الصَّدَقَةِ مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ هَلْ يَصِلُ اِلَى الْمَيِّتِ (نيل الأوطار، ٤: ١٤٢) Artinya: “Terjadi perbedaan pendapat mengenai persoalan sampai tidaknya pahala selain sedekah kepada orang yang telah meninggal dunia” (Nail Al-Authâr, Juz IV, hal. 142). Kedua, Yang menolak sampai tidaknya do’a dan pahala tersebut justeru kalangan Ahli Bid’ah kaum Mu’tazilah. Sebagaimana yang disampaikan oleh ulama berikut ini: Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata: وَذَهَبَ اَهْلُ الْبِدَعِ مِنْ اَهْلِ الْكَلاَمِ اَنَّهُ لاَ يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ شَيْئٌ اَلْبَتـَّةَ لاَ دُعَاءٌ وَلاَ غَيْرُهُ (الروح: ١١٧) Artinya: “Para ahli bid’ah dari kalangan Ahli Kalam berpendapat bahwa menghadiahkan pahala, baik berupa do’a atau yang lainnya sama sekali tidak sampai kepada orang yang telah meninggal dunia” (Ar-Rûh, 117) Imam Asy-Syaukani berkata: وَقَدِ اخْتَلَفَ فِى غَيْرِ الصَّدَقَةِ مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ هَلْ يَصِلُ اِلَى الْمَيِّتِ؟ فَذَهَبَتِ الْمُعْتَزِلَةُ إِلَى أَنَّـهُ لاَ يَصِلُ إِلَيْهِ شَيْئٌ (نيل الأوطار، ٤: ١٤٢) Artinya: “Terjadi perbedaan pendapat mengenai persoalan sampai tidaknya pahala selain sedekah kepada orang yang telah meninggal dunia?, Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa pahala selain sedekah tidak akan sampai” (Nail Al-Authâr, Juz IV, hal. 142). Tiga, Para Ulama terkemuka telah bersepakat tentang sampainya do’a dan pahala ibadah yang dihadiahkan kepada orang yang telah mati. Ulama tersebut antara lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Al-Qurthubi, Ibnu Hajar, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Abi Al-‘Izz Al-Hanafi, Imam Syafi’I, Ibnu Rusyd, Imam Ahmad, Imam Asy-Syakani, dan Sayyid Alawi Al-Maliki. Fatwa Ulama Tentang Menghadiahkan Pahala Dan Do’a 1. Imam Al-Qurthubi berkata: كَانَ اْلإِ مَامُ اَحْمَدُبْنُ حَنْبَلِ رَضِىَ الله ُعَنْهُ يَقُوْلُ إِذَا دَخَلْتُمُ الْمَقَابِرِ قَاقْرَؤُوْا فَاتِحَةَ الْكِتَابَ وَالْمُعَوْذَتَيْنِ وَقُلْ هُوَ الله ُاَحَدٌ وَاجْعَلُوْا ثَوَابَ ذَلِكَ لاََ اَهْلِ الْمَقَابِرِ فَإِنَّهُ يَصِلُ اِلَيْهِمْ (مخـتصر تذكرة القرطبى : ٢٥) Artinya: Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “apabila kamu berziarah ke pemakaman, maka bacalah surat Al-Fatihah, Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas) dan surat Al-Ikhlash. Kemudian hadiahkanlah pahalanya kepada ahli kubur. Maka sesungguhnya pahala tersebut sampai kepada mereka”. (Mukhtashar Tadzkirah Al-Qurthubi, 25) 2. Ibnu Taimiyah menyatakan: قَالَ شَيْخُ اْلاِسْلاَمِ تَـقِيُى الدِّيْنِ اَحْمَدُ بْنُ تَيْمِيَّةَ فِى فَتَاوِيْهِ، اَلصَّحِيْحُ أَنَّ الْمَيِّتَ يَنْتَفِعُ بِجَمِيْعِ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالصَّوْمِ وَالْقِرَاءَةِ كَمَا يَنْتَفِعُ بِالْعِبَادَاتِ الْمَالِيَةِ مِنَ الصَّدَقَةِ وَنَحْوِهَا بِاتِّفَاقِ اْلأَ ئِمَّةِ وَكَمَا لَوْدُعِيَ لَهُ وَاسْتَغْفِرْلَهُ (حُكْمُ الشَّرِيْعَةُ اْلاِسْلاَمِيَّةِ فِى مَأْتَمِ اْلأَرْبَعِيْنَ : ٣٦) Artinya: Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah dalam kitab Fatawa-nya berkata, “pendapat yang benar dan sesuai dengan kesepakatan para imam, bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik ibadah badaniyah (ibadah fisik) seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, atau ibadah maliyah (ibadah materil) seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk berdo’a dan membaca istighfar bagi si mayit” (Hukm Asy-Syarî’ah Al-Islamiyah fi Ma’tamil Arba’în, 36) 3. Dalam Kitab Nihayah al-Zain disebutkan: قَالَ ابْنُ حَجَرٍ نَقْلاً عَنْ شَرْحِ الْمُخْتَارِ: مَذْهَبُ أَهْلِ السُّنَّةِ أَنَّ لِلإِنْسَانِ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ وَصَلاَتِهِ لِلْمَيِّتِ وَيَصِلُهُ (نهاية الزين : ١٩٣) Artinya: Ibnu Hajar dengan mengutip Syarh Al-Mukhtar berkata, “Madhab Ahlussunnah berpendapat bahwa seseorang dapat menghadiahkan pahala amal dan do’anya kepada orang yang telah meninggal dunia. Dan pahalanya dapat samapai kepadanya” (Nihayah Al-Zain, 193). 4. Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah berpendapat: فَأَفْضَلُ مَا يُهْدَىإِلَى اْلمَيِّتِ الْعِتْقَ وَالصَّدَقَةُ وَاْلاِسْتِغْفَارُ لَهُ وَالدُّعَاءُ لَهُ وَاْلحَجُّ عَنْهُ وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَاِهْدَاءُ هَا لَهُ تَطَوُّعًا بِغَيـْرِ أُجْرَةٍ فَهَذَا يَصِلُ إِلَيْهِ كَمَا يَصِلُ ثَوَابُ الصَّوْمِ وَالْحَجِّ (الروح ١٤٢) Artinya: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “sebaik-baiknya amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istighfar, do’a, dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur’an secara suka rela (tanpa mengambil upah)yang dihadiahkan kepada si mayit, juga sampai kepadanya, sebagaimana pahala puasa dan haji” (Ar-Ruh, 142). 5. Ibnu Abi Al-‘Izz Al-Hanafi menjelaskan: قَالَ ابْنُ أَبِى الْعَزِّ الْحَنَفِى وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَإِهْدَاءُ هَا لَهُ تَطَوَّعًا بِغَيْرِ أُجْرَةٍ فَهَذَا يَصِلُ اِلَيْهِ كَمَا يَصِلُ ثَوَابُ الصَّوْمِ وَالْحَجِّ Artinya: Ibnu Abi Al-‘Izz Al-Hanafi berkata, “pahala membaca Al-Qur’an secara sukarela yang dihadiahkan kepada si mayit adalah sampai kepadanya. Sebagaimana pahala puasa dan haji” (Keterangan ini dikutip dari Kitab Syarh Al-‘Aqidah Al-Thahawiyah: 517, salah satu kitab wajib di seluruh perguruan tinggi Arab Saudi). 6. Dalam Kitab Is’af Al-Muslimin wa Al-Muslimat dinyatakan: إِنْ قَرَأَ وَوَهَبَ ثَوَابَ قِرَاءَتِهِ لِمَيِّتٍ جَازَ ذَلِكَ وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ اَجْرُهُ (اِسْعَافُ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَات: ٨٥) Artinya: Ibnu Rusyd pada akhir kitab Al-Nawazil-nya berkata, “kalau ada yang membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang telah meninggal dunia, hukumnya boleh (jaiz) dan mayit akan memperoleh pahala bacaan tersebut” (Is’af Al-Muslimin wa Al-Muslimat: 85). 7. Imam Al-Qurthubi menyatakan: قَالَ اْلاِمَامُ الْقُرْطُبِي رَحِمَهُ اللهُ، وَقَدْ اَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى وَصُوْلِ ثَوَابِ الصَّدَقَةِ لِلأَمْوَاتِ فَكَذَلِكَ الْقَوْلُ فِى قِرَاءَةِ الْقُرْآن ِوَالدُّعَاءِ وَاْلاِسْتِغْفَارِ اِذْ كُلُّ صَدَقَةٌ بِدَلِيْلِ قَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ "كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ"(رواه البخارى ومسلم). فَلَمْ يَخُصُّ الصَّدَقَةَ بِالْمَالِ (مختصر تذكرة القرطبى : ٢٥) Artinya: Imam Al-Qurtubi berkata, “Para ulama telah sepakat mengenai sampainya pahala sedekah kepada orang yang telah meninggal dunia. Begitu juga mengenai bacaan Al-Qur’an, do’a dan istighfar, karena semua itu adalah sedekah. Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Setiap kebaikan itu adalah sedekah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Nabi SAW tidak mengkhususkan sedeka itu hanya berupa harta benda saja (namun juga bisa berupa bacaan Al-Qur’an, do’a, istighfar dan lain sebagainya)” (Mukhtashar Tadzkirah Al-Qurthubi, 25). 8. Ibnu Taimiyah mengemukakan 21 alasan mengenai sampainya pahala kepada orang yang telah meninggal dunia sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab Tahqiq Al-Amal (namun tidak sempat dikutipkan disini). Berikut penggalannya: قَالَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ، مَنِ اعْتَقَدَ أَنَّ اْلاِنْسَانَ لاَ يَنْتَفِعُ إِلاَّ بِعَمَلِهِ فَقَدْ خَرَقَ اْلإِجْتِمَاعَ وَذَلِكَ بَاطِلٌ مِنْ وُجُوْهِ كَثِيْرَةٍ (تحقق الاعمال) Artinya: Ibnu Taimiyah berkata, “barangsiapa yang meyakini bahwa manusia tidak dapat memperoleh manfaat kecuali dari amalnya sendiri, maka ia telah menentang ijma’ ” (Tahqiq Al-Amal, 53-56). 9. Dalam kitab Nailul Authar, Imam Asy-Syaukani mengutip Syarh kitab Al-Kanz: وَقَالَ فِى شَرْحِ الْكَنْزِ اِنَّ اْلاِنْسَانَ اَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ صَلاَةً كَانَ اَوْصَوْمًا اَوْحَجًّا اَوْ صَدَقَةً اَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ اَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ جَمِيْعِ اَنْوَاعِ الْبِرِّ وَيَصِلُ ذَلِكَ اِلىَ الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ عِنْدَ اَهْلِ السُّنَّةِ (نيل الاوطار، ٤: ١٤٢) Artinya: Dalam kitab Syarah Al-Kanz disebutkan bahwa, “seseorang boleh menghadiahkan pahala perbuatan baik yang ia kerjakan kepada orang lain, baik berupa shalat, puasa, haji, shadaqah,bacaan Al-Qur’an atau semua bentuk perbuatan baik lainnya, dan pahala tersebut sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepada mayit tersebut menurut ulama Ahlussunnah” (Nail Al-Authar, juz IV, hal. 142). 10. Setelah menjelaskan bahwa seluruh ulama telah sepakat tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an atau dzikir kepada mayyit, Sayyid Alawi Al-Maliki, salah seorang guru besar di Masjid Al-Haram Mekkah pada zamannya mengatakan: فَإِنْ زَعَمَ اَحَدٌ اَنَّهَا حَرَامٌ فَقُوْلُوْا لَهُ اَيْنَ تَحْرِيْمُهَا فِى كِتَابِ الله ِاَوْفِى سُنَّةِ رَسُوْلُ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاتْلُ عَلَيْهِ" وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ (النحل:١١٦) Artinya: “Kalau ada yang menyangka bahwa hal tersebut (menghadiahkan pahala kepada orang yang telah mati) hukumnya haram, maka tanyakanlah kepadanya, “pada bagian manakah di dalam Al-Qur’an atau hadits yang mengharamkan hal tersebut?”, kemudian bacakanlah ayat yang artinya, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengadakan kebohongan terhadap Allah SWT. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah SWT.SWT tiadalah beruntung” (QS. An-Nahl, 116) (Faidh Al-Khabir, 178). Keterangan Tentang Menghadiahkan Pahala Tanya: tolong sebutkan contoh keterangan tentang ibadah-ibadah yang bisa dihadiahkan? Jawab: Baiklah, Sekarang akan dikutipkan hadits-hadits yang menerangkan tentang berdo’a untuk mayit dan mengahdiahkan pahala ibadah. Antara lain: 1. Berdo’a untuk mayit yang baru meninggal Hadits yang diriwayatkan dari Utsman bin Affan ra.: عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ ص إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اِسْتَغْفُِوْا لأَخِيْكُمْ وَسَلُوْا لَهُ بِالتَّثْبِيْتِ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ (سنن ابى داود، رقم ٢٨٠٤) Artinya: Dari Utsman bin Affan ra., ia berakata, “Jika Nabi Muhammad SAW selesai menguburkan jenazah, beliau berdiri didekat kubur dan bersabda, “Hendaklah kamu sekalian memintakan ampunan bagi saudaramu (yang mati ini) dan mohonkanlah ketetapan (keteguhan iman) baginya karena saat ini ia sedang ditanya oleh malaikat” (Sunan Abi Dawud, 2804). 2. Sampainya pahala bersedekah Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah rah.,: عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهَا أَنَّ رَجُلا ًأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أُمِّيْ أُفْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَلَمْ تُوْصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟، قَالَ نَعَمْ (صحيح مسلم، رقم ١٦٧٢) Artinya: Dari ‘Aisyah rah., “Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, “Ibu saya telah meninggal dunia secara mendadak dan tidak berwasiat. Saya menduga seandainya ia dapat berwasiat, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapatkan pahala jika saya bersedekah atas namanya?, Nabi SAW menjawab: “Ya”. (Shahih Muslim, 1672) Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.,: عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ . إِنَّ أَبِي مَاتَ وَلَمْ يُوْصِ أَفَيَنْفَعُهُ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهُ ؟ ، قَالَ نَعَمْ (سنن ابن ما جه، ٢٧٠٧) Artinya: Dari Abu Hurairah ra., “Ada seseorang laki-laki bertanya kepada nabi Muhammad SAW, “Ayah saya meninggal dunia dan tidak berwasiat. Apakah beliau akan mendapatkan kemanfaatan jika saya bersedekah atas namanya?, Nabi SAW menjawab: “Ya”. (Sunan Ibnu Majah, 2707). Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.,: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهَ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُوْلَ الله ِإِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ ، قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا فَأَشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا (صحيح البخارى، رقم ٢٥٦٣) Artinya: Dari Ibnu Abbas ra., ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, “wahai Rasulullah, ibu saya meninggal dunia. Apakah ia akan mendapatkan kemanfaatan jika saya bersedekah untuknya?, Nabi SAW menjawab: “Ya”. Laki-laki tersebut kemudian berkata, “saya mempunyai kebun, saya mohon kepadamu wahai Rasulullah untuk menjadi saksi saya bersedekah atas nama Ibu saya”. (Shahih Al-Bukhari, 2563) 3. Kedudukan menghadiahkan dzikir (tahlil, tasbih, tahmid, dan takbir) Hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari ra.,: عَنْ أَبِى ذَرٍّ رَضِيَ الله ُعَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَا رَسُوْلَ الله ِذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَليِّ وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ، قَالَ: أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَلَكَ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً (صحيح مسلم، ١٦٧٤) Artinya: Dari Abudzar ra., ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya bisa (beruntung) mendapatkan banyak pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Nabi SAW menjawab, “Bukankah Allah SWT.SWT telah menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan?, sesungguhnya setiap tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah dan setiap tahlil adalah sedekah” (Shahih Muslim, 1674). 4. Tentang menghadiahkan puasa Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.,: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُمَا قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ الله ِ إِنَّ اُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيْهِ عَنْهَا؟، قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ الله ِاَحَقُّ أَنْ يُقْضَى (صحيح البخارى، رقم ١٨١٧) Artinya: Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan bertanya, “Ibu saya meninggal dunia dan mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, apakah saya boleh meng-qadah’-nya?”, Rasulullah SAW menjawab: “Ya, hutang kepada Allah SWT.lebih berhak untuk dilunasi” (Shahih Al-Bukhari, 1817). 5. Tentang menghadiahkan ibadah Haji Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.,: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُمَا قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ إِنَّ أُخْتِي قَدْ نَذَرَتْ تَحَجَّ وَاِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْكَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهِ؟ ، قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاقْضِ اللهَ فَهُوَ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ (صحيح البخارى ، رقم ٦٢٠٥) Artinya: Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “saudara perempuan saya bernadzar haji namun ia meninggal dunia (sebelum ia menunaikan nadzarnya)” Nabi SAW kemudian menyahuti, “Apakah jika engkau mempunyai hutang akan membayarnya?”, laki-laki itu menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “tunaikanlah hutang kepada Allah SWT.SWT karena hutang kepada-Nya lebih berhak untuk dilunasi” (Shahih Al-Bukhari, 2605). 6. Tentang menghadiahkan Kurban: Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra.,: عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِى سَوَادٍ وَيَبْرَكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ فَأَتَى بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةَ هُلُمِّيِ الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيْهَا بِحَجَرِ، فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ (صحيح ومسلم ، رقم ٣٦٣٧) Artinya: Dari Sitti ‘Aisyah ra., bahwa Nabi SAW menyuruh menyediakan satu kambing domba yang bertanduk, kaki, perut dan matanya sehat untuk dijadikan kurban. Kemudaian Nabi SAW bersabda, “Wahai ‘Aisyah, ambilkan pisau dan asah pisau itu dengan batu asahan!”. ‘Aisyah kemudian mengerjakan perintah Nabi SAW tersebut. Setelah itu Nabi SAW mengambil pisau dan membaringkan kambing itu dan menyembelihnya sambil berdo’a, ‘Ya Allah, hendaklah Engkau menerima dari Muhammad, keluarganya, dan dari umat Muhammad’. Lalu daging kambing dijadikan kurban”. (Shahih Muslim, 3637). Hadits ini menggambarkan bahwa Nabi SAW menyengaja menghadiahkan pahala kurbannya kepada keluarganya dan kepada umatnya. 7. Tentang menghadiahkan surat Yasin dan surat Al-Ikhlas Hadits yang diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar ra.,: عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُوْلَ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَ يـس قُلْتُ الْقُرْآنِ لاَ يَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ الله َتَبَارَكَ وَتَعَالَى وَالدَّارَ اْلآخِرَةَ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ وَاقْرَءُوْ هَا عَلَى مَوْتَاكُمْ (مسند احمد بن حنبل، رقم ١٩٤١٥) Artinya: Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Surat yasin adalah intisari Al-Qur’an. Tidaklah seseorang mambacanya dengan mengharap rahmat Allah SWT.SWT kecuali Allah SWT.akan mengampuni dosa-dosanya. Maka bacalah surat Yasin atas orang-orang yang telah meninggal diantara kamu sekalian” (Musnad Ahmad bin Hanbal, 19415). Dalam kitab Haula Khashaish Al-Qur’an dijelaskan: قَالَ مُحِبُّ الدِّيْنِ الطَّبَرِى : اَلْمُرَادُ الْمَيْتَ الَّذِى فَارَقَتْهُ رُوْحُهُ ، وَحَمْلُهُ عَلَى الْمُحْتَضَرِ قَوْلٌ بِلاَدَلِيْلٍ (حول خصائص الْقُرْآنِ:٤٤) Artinya: Syaikh Muhibbuddin At-Thabari menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata ‘mautâkum’ dalam hadits tersebut adalah orang yang ruhnya telah berpisah dari jasadnya (telah mati). Adapun pendapat pendapat yang mengartikan kata ‘mautâkum’ dengan “orang yang akan mati (saat sekarat)” adalah pendapat yang tidak berdasar”. (Haula Khasha’ish Al-Qur’an, 44). Hadits yang diriwayatkan dari Sayyidina Ali ra.,: عَنْ عَلِى رَضِيَ الله ُعَنْهُ ، اَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ قَالَ: مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ قُلْ هُوَ الله ُأَحَدٌ إِحْدَى عَشَرَ مَرَّةٍ ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهَا لِلأَمْوَاتِ اُعْطِيَ مِنَ اْلأَجْرِ بِعَدَدِ اْلأَمْوَاتِ (أَخْرَجَهُ اَبُوْ مُحَمَّدٍ اَلْسَمَرْ قَنْدِيِّ وَالرَّافِعِيِّ وَالدَّارَ قُطْنِي، حَوْلَ خَصائِصِ الْقُرْآنِ:٤٥) Artinya: Dari Ali ra., Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berjalan melewati pemakaman, lalu membaca surat Al-Ikhlash sebelas kali dan menghadiahkan pahalanya kepada ahli kubur, maka ia akan diberi pahala sejumlah ahli kubur” (Diriwayatkan oleh Abu Muhammad As-Samarqandi, Ar-Rafi’i, dan Ad-Daruquthni, lihat Haula Khasha’ish Al-Qur’an, 45) 8. Tentang Pembacaan ayat-ayat tertentu pada surat Al-Baqarah Imam Nawawi berkata: وَرَوَيْنَا فِي سُنَنِ الْبَيْهَقِيِّ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ اِسْتَحَبَّ أَنْ يَقْرَأَ عَلَى الْقَبْرِ بَعْدَ الدَّفْنِ أَوَّلَ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتَهَا (اَلأَذْكَارُ:٢٠٦ ) Artinya: “Telah kami diriwayatkan dalam Sunan Al-Baihaqi dengan sanad yang hasan, bahwa Ibnu Umar mensunnahkan membaca awal dan akhir dari surat Al-Baqarah diatas kubur setelah mayit selesai dikubur” (Al-Adzkâr, 206). 9. Berkumpul didepan kubur dengan membaca al-Qur’an Al-Khallal dari Al-Sya’bi berkata: كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا عَلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ (الروح : ١١) Artinya: “Jika ada sahabat di kalangan Anshor meninggal dunia, mereka berkumpul di depan kuburnya sambil membaca Al-Qur’an” (Ar-Rûh, 11). Keutamaan Mendo’akan Orang Lain Tanya: Apa keutamaan mendo’akan orang lain. Lalu bagaimana jika ada yang berpendapat bahwa do’a untuk orang yang telah mati hanya bisa diterima jika yang melakukan keluarganya atau anaknya yang shalih saja?. Jawab: Pertama, berikut ini Firman Allah SWT.SWT dan Hadits Nabi SAW yang menganjurkan mendo’akan orang lain: 1. Surat Muhammad ayat 9: وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ (محمد: ٩) Artinya: “Mintalah ampun atas dosa-dosamu dan atas kaum mukminin dan mukminat” (QS. Muhammad: 9). 2. Hadits Dari Abu Darda ra.: عَنْ اَبِى الدَّرْدَاءِ, سَمِعَ رَسُوْلَ الله ص يَقُوْلُ: مَا مِنْ عِبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ لاَخِيْهِ بَظَهْرِ الْغَيْبِ اِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ: "وَلَكَ بِمِثْلٍ" (مسلم) Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah dari hamba yang muslim yang mendo’akan saudaranya tanpa sepengetahuannya, kecuali malaikat juga akan mendo’akan: “Dan bagimu seperti itu pula” (HR. Muslim). Tanya: Lalu bagaimana tentang terkabul atau tidaknya do’a?. Jawab: Allah SWT.Ta’ala Maha Mendengar dan Maha Pengabul do’a. Allah SWT.akan mengabulkan do’a dengan beberapa syarat yakni selama do’a dilakukan tidak terburu-buru, tidak untuk perbuatan dosa dan tidak untuk memutuskan tali silaturahmi. Dan jika pun belum dikabulkan maka Allah SWT.tetap akan menyimpan pahala dari do’a kita sebagai tabungan amal kebaikan kita. Sebagaimana hadits Nabi SAW berikut ini: مَا عَلَى اْلاَرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُوا الله َتَعَالَى بِدَعْوَةٍ اِلاَّ اَتَاهُ اللهُ، اِيَّاهَا اَوْصَرَفَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِثْلَهَا, مَا لَمْ يَدْعُوْ بِإِثْمٍ اَوْقَطِيْعَةُ رَحِمٍ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: اِذًا نُكْثِرُ، قَالَ: اللهُ اَكْبَرُ (الترمذى) وَرَوَاهُ الْحَاكِمُ عَنْ اَبِى سَعِيْدِ الْخُدْرِى وَزَادَ فِيْهِ: اَوْيَدَّخِرُ لَهُ مِنَ اْلاَجْرِ مِثْلَهَا Artinya: Dari ‘Ubadah bin Shamit ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah bagi seorang muslim di bumi yang berdo’a kepada Allah SWT.kecuali dengan do’anya itu akan dikabulkan Allah, juga dihindarkan darinya marabahaya seperti do’anya, selama do’anya bukan dalam hal pebuatan dosa dan bukan untuk memutuskan silaturahmi”, Berkata seorang laki-laki, “kalau begitu banyak-banyaklah kita berdo’a”, Nabi SAW menjawab: “Allah SWT.Maha Besar” (HR. At-Tirmidzi). Dan dalam riwayat Hakim, dari Abu Said Al-Khudri, ditambahkan pada hadits tersebut, “Atau akan ditabungkan baginya pahala dari do’anya”. (HR. Hakim) Tentang Pengkhususan Pembacaan Al-Fatihah Tanya: Apa dasar pengkhususan pambacaan surat Al-Fatihah ketika akan memulai dzikir (tahlilan), membaca al-Qur’an dan do’a?. Jawab: Pertama, Kedudukan Al-Fatihah sama seperti ayat-ayat Allah SWT.yang lain. Pembacaannya pun dapat dihadiahkan (pahalanya) sebagaimana ibadah yang lainnya. Syaikh Usamah Sayyid menyatakan: يَكْفِى فِى اِثْبَاتِ صِحَّةِ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ وَغَيْرِ هَا عَلَى الْمَوْتَى اَلاِسْتِدْلاَل ُبِحَدِيْثِ الْبُخَارِى اَنَّهُ ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِعَائِشَةَ "ذَاكِ لَوْ كَانَ وَاَنَا حَيٌّ فَأَسْتَغْفِرُ لَكِ وَادْعُوْلَكِ" وَمَحَلٌُ الشَّاهِدِ فِى هَذَا الْحَدِيْثِ قَوْلُهُ "وَادْعُوْ لَكِ" فَاِنَّ هَذِهِ الْكَلِمَةَ تَشْتَمِلُ الدُّعَاءَ بِاَنْوَاعِهِ، فَدَخَلَ فِى ذَلِكَ دُعَاءُ الرَّجُلِ بَعْدَ قِرَاءَةِ شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ لإِ يْصَالِ الثَّوَابِ لِلْمَيِّتِ. (القرضاوي فى العراء: ٢٣٢) Artinya: Cukuplah dalam penetapan kebenaran membaca surat Al-Fatihah dan yang lainnya untuk orang yang meninggal dunia adalah berdalil dari hadits Bukhari bahwa Nabi SAW bersabda kepada ‘Aisyah ra, “Andaikata hal itu terjadi (Aisyah meninggal dunia), dan aku masih hidup, kemudian aku memohonkan ampun dan berdo’a untuk kamu”. Pusat pembahasan hadits ini adalah kata: “aku berdo’a untuk kamu”. Kalimat ini meliputi do’a dan yang lainnya. Maka termasuk pula do’a seseorang setelah membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada mayit” (Al-Qardhawi fi Al-‘Ara’, 232). Kedua, Selain itu kerena surat Al-Fatihah memiliki keutamaan, sebagaimana hadits Nabi SAW: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ بَيْنَمَا جِبْرِيْلٌ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ نَقِيْضًا مِنْ فَوْقِهِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحُ قَطُّ إِلاَّ الْيَوْمَ فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ فَقَالَ هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى اْلأَرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطٌّ إِلاَّ الْيَوْمَ فَسَلَّمَ وَقَالَ أَبْشِرْ بِنُوْرَيْنِ أُوْ تِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابَ وَخَوَاتِيمُ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلاَّ أُعْطِيْتَهُ (صحيح مسلم ، رقم ١٣٣٩) Artinya: Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, “ketika malaikat Jibril duduk bersama Nabi SAW, beliau mendengar pintu terbuka dari atasnya. Kemudian Rasulullah SAW menegadahkan kepala. Malaikat Jibril lalu berkata, “Pada hari ini pintu langit dibuka dan belum pernah dibuka sebelumnya. Malaikat turun kebumi yang tidak pernah turun kecuali hari ini. Ia kemudian mengucapakan salam kepada Nabi SAW seraya berkata, “Bergembiralah engkau (Muhammad) dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu dan belum pernah diterima oleh nabi sebelummu, yakni Surat Al-Fatihah dan beberapa ayat terakhir surat Al-Baqarah. Tidaklah kamu membaca satu huruf dari keduanya kecuali engkau akan mendapatkan imbalan (pahala)” (Shahih Muslim, 1339). Ketiga: Perlu juga diketahui bahwa Surat Al-Fatihah merupakan do’a yang paling baik. Sebagaimana penjelasan berikut ini: a. Syah Waliyyullha Al-Dahlawi menyatakan: وَمِنَ السُّنَّةِ قِرَاءَةُ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ لاَنَّهَا خَيْرُ اْلأَدْعِيَّةِ وَاَجْمَعُهَا عَلَّمَهَا الله ُتَعَالَى عِبَادَهُ فِى مُحْكَمِ كِتَابِهِ، وَمِمَّا حُفِظَ مِنْ دُعَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمَيِّتِ : اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّـنَا وَمَيِّـتِنَا ... (حجة الله البالغة، ج ٢ ص ٩٣) Artinya: “Termasuk perbuatan sunnah (untuk mendo’akan orang mati) adalah membaca surat Al-Fatihah, karena ia merupakan do’a yang paling baik dan paling luas cakupannya. Allah SWT.SWT telah mengajarkan kepada hamba-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an. Di antara do’a Nabi SAW yang terkenal bagi mayit juga adalah “Ya Allah SWT.ampunilah orang yang masih hidup dan yang sudah mati di antara kami…” (Hujjatullah Al-Balighah, jiuz II, hal. 93). b. Malik bin Dinar, seorang sufi besar bercerita: عَنْ مَالِكٍ بْنِ دِيْنَارٍ قَالَ: دَخَلْتُ الْمَقْبَرَةَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ فَإِذًا اَنَا بِنُوْرٍ مُشْرِقٍ فِيْهَا، فَقُلْتُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ُنَرَى اَنَّ الله َعَزَّ وَجَلَّ قَدْ غَفَرَلأَهْلِ الْمَقَابِرِ فَإِذًا اَنَا بِهَاتِفٍ يَهْتَفُ مِنَ الْعَبْدِ وَهُوَ يَقُوْلُ: يَا مَالِكُ بْنُ دِيْنَارٍ هَذِهِ هَدِيَّةُ الْمُؤْمِنِ اِلَى اِخْوَانِهِمْ مِنْ اَهْلِ الْمَقَابِرِ قُلْتُ بِالَّذِي أَنْطَقَكَ اِلاَّ خِبْرَتِي مَا هُوَ؟، قَالَ: رَجُلٌ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ قَامَ فِى هَذِهِ اللَّيْلَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوْءَ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَقَرَأَ فِيْهِمَا فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَقُلْ يَا اَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ الله ُاَحَدٌ. وقَالَ اللَّهُمَّ اِنِّى قَدْ وَهَبْتُ ثَوَابَهَا ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ. فَأَدْخَلَ الله ُعَلَيْنَا الضِّيَاءَ وَالنُّوْرَ وَالْفُسْحَةَ وَالسُّرُوْرَ فِى الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِب (اتحاف السادة المتقين ،ج ١٠ ص ٣٧٢) Artinya: “Pada suatu malam aku masuk ke sebuah pemakaman. Di sana aku melihat cahaya yang bersinar terang. Aku berkata, “Tidak ada Tuhan selain Allah, kami melihat bahwa Allah SWT.SWT telah mengampuni para ahli kubur. Tiba-tiba saya mendengar suara seseorang. Ia menyatakan, “Wahai Malik bin Dinar, ini adalah hadiah yang diberikan oleh orang mukmin kepada saudara mereka yang telah meninggal dunia”. Saya menjawab, “Demi Dzat yang telah membuat kamu dapat berbicara, apakah hadiah itu?”, Suara itu menjawab, “Seorang laki-laki dari golongan mukmin bangun pada malam ini, kemudian ia berwdhu dengan sempurna, lalu shalat dua rekaat, dan membaca surat Al-Fatihah, Al-Kafirun dan Al-Ikhlash, kemudian berdo’a, “Ya Allah SWT.sesungguhnya aku hadiahkan pahala bacaan tersebut kepada ahli kubur yang mukmin”. Maka Allah SWT.memberikan kepada kami sinar, cahaya, keluasan dan kebahagiaan di timur dan di barat” (Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn, juz 10, hal. 372). c. Syaikh Abdurrahman bin Hussain Al-Masyhur berkata: قَالَ السَّيِّدُ الْعَلَّامَةُ عَبْدُ الله ِبْنُ حُسَيْنِ بَلَفَقِيْهٍ: اَلأَوْلَى لِمَنْ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ لِشَخْصٍ أَنْ يَقُوْلَ : إِلَى رُوْحِ فُلاَنٍ بْنِ فُلاَنٍ كَمَا عَلَيْهِ الْعَمَلُ لِبَقَاءِ اْلأَرْوَاحِ وَفَنَاءِ اْلأَجْسَامِ (بغية المستر شدين، ٩٨) Artinya: “Fatwa Sayyid al-‘Allamah ‘Abdullah bin Husain Balfaqih bahwa yang lebih utama bagi orang yang membaca surat Al-Fatihah bagi seseorang adalah dengan mengucapkan “ila ruhi fulan bin fulan”, sebagaimana kebiasaan yang berlaku. Karena ruh itu kekal semantara tubuh itu hancur”. (Bughyatul Mustarsyidin, 98). Istilah Tujuh Hari Dalam Tahlil Tanya: Dari manakah asal-usul istilah tujuh hari dalam upacara tahlilan?. Jawab: Asal-usul istilah tersebut ialah mengikuti amal yang dicontohkan oleh sahabat Nabi SAW. Berikut keterangannya: a. Imam Ahmad bin Hanbal berkata dalam kitab Al-Zuhd, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi: حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا اْلأَشْجَعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ : قَالَ طَاوُسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيـَّامَ (اْلحَاوِي لِلْفَتَاوِي، ٢: ١٧٨) Artinya: Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, Imam Thawus berkata, “Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 178). b. Imam As-Suyuthi berkata: أَنَّ سُيَّةَ اْلإِطْعَامِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلىَ اْلآنَ بِمَكَّةَ وَالْمَدِيْنَةِ فَالظَّاهِرُ اَنَّهَا لَمْ تُتْرَكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى اْلآنَ وَاَنَّهُمْ أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ (الحاوي للفتاوي، ٢:١٩٤) Artinya: “Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriyah) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Nabi SAW)” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 194). Defenisi Khilafiyah Tanya : Apa yang dimaksud khilafiah tersebut ? Jawab: Khilafiyah adalah perbedaan pendapat dikalangan ulama mujtahid (ahli fikih) dalam menentukan hukum suatu perkara. Perbedaan pendapat ini terjadi pada beberapa madzhab atau bahkan perbedaan pendapat diantara para ulama pada mazhab yang sama. Utamanya madzhab yang kita kenal dan dapat dipertanggungjawabkan adalah madzhab yang empat (yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). 1. Antara Khilafiyah dan Bid’ah Tanya: Saya sering mendengar atau membaca berbagai perbedaan pendapat, namun diantara pengikut madzhab ada yang menuduh pendapat madzhab yang lain sebagai bid’ah. Bagaimana kedudukannya tuduhan ini? Jawab: Tidak boleh menghukumi atau mencap bid`ah perkara yang sudah ditetapkan dan diamalkan oleh salah satu madzhab. Kendatipun ada madzhab yang menolaknya, penganut madzhab yang bersangkutan dilarang mengklaim bid`ah atau sebutan sejenis kepada perkara yang sudah diamalkan oleh madzhab lain. Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengungkapkan, “yang lebih membahayakan lagi bila seseorang hendak mewajibkan suatu pandangan terhadap orang lain, dengan menggunakan ‘tongkat’ yang sangat menyakitkan. Dan tongkat yang dimaksudkan disini tidak terbuat dari besi dan kayu, tetapi dengan melemparkan klaim telah berbuat bid`ah, mendustakan agama, kufur dan sesat. Inilah teror dan intimidasi yang lebih dahsyat dan lebih menakutkan dari segala teror” (Membedah Islam Ekstrem). Jadi kita tidak boleh mengumbar klaim Bid`ah secara serampangan dan tidak hati-hati, sehingga khilafiah malah dengan mudah dibid`ahkan. Imam Abu Bakar Al-Jazairi, penasihat Masjid An-Nabawi, menyampaikan petuah dalam perkara khilafiah: “Maka tidak selayaknya bagi orang yang mengerti (hukum) dalam masalah ini menolak pandangan kaum muslimin dan menuntut mereka mengamalkan (menurut keinginannya). Dan ini termasuk sikap yang menyimpang (berlebihan). Dan barang siapa yang ingin melakukan hal tersebut maka hendaknya ia melakukan sendiri dan membolehkan (mentolelir) kaum muslimin melakukan yang lain pada masalah-masalah yang termasuk khilafiyah” (Min Sunani al-Hudâ Raf‘u al-Yadain Fi ad- Du`â’). Para ulama telah bersepakat bahwa menegakkan ukhuwah adalah wajib sedangkan meributkan khilafiyah hukumnya makruh bahkan dapat jatuh pada perbuatan haram. Para ulama telah membimbing kita untuk menjauhi sikap saling mengingkari dan saling membid`ahkan dalam perkara khilafiah. Bahkan Imam Ja`far Ash-Shaddiq menyebutkan sikap yang demikian termasuk salah satu pemecah belah Islam, seraya membaca hadits: لايدخلون الجنة قاطع (Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan /memecah-belah). Para ulama’ fiqih sendiri saling menghormati perbedaan pendapat dalam melahirkan hukum fiqih. Ada ungkapan yang populer diantara mereka yakni: مَذْهَبُنَاالصَّوَابُ يَحْتَمِلُوا الْخَطَأِ وَمَذْهَبُ غَيْرِنَاالْخَطَأِ يَحْتَمِلُوا الصَّوَابِ Artinya: “Madzhab kami benar (menurut kami), (namun) masih mungkin mengandung kesalahan, dan madzhab selain kami (menurut kami) salah, (namun) masih mungkin mengandung kebenaran”. 2. Khilafiyah Yang Terbid’ahkan Berikut ini kita akan berdialog tentang perkara khilafiyah yang secara sembarangan dibid’ahkan oleh orang-orang yang melampai batas dalam bergama. Berangkat dari berbagai persoalan yang muncul disekitar kita dan berbagai pertanyaan yang masuk. a. Khilafiyah yang terlanjur dibid`ahkan 1) Mengangkat tangan kertika berdoa Tanya: Saya pernah ditegur bahwa mengangkat tangan ketika berdo’a tidak disyari’atkan sehingga perlu ditinggalkan, termasuk mengusapkannya kewajah ketika usai berdo’a. Bahkan ada yang menyebutnya bid’ah. Jadi bagaimana kedudukannya mengangkat tangan dalam berdo’a lalu mengusapkannya kewajah? Jawab: tentang adanya orang yang melarang mengangkat tangan ketika berdo`a dengan mengatakan: “Tinggalkanlah perbuatan ini, karena sesungguhnya perbuatan ini adalah bid`ah”.Dengan alasan Rasulullah SAW tidak pernah melakukan hal ini setelah shalat lima waktu. Padahal masyru`-nya do`a sambil mengangkat kedua tangan telah disebutkan lebih dari 30 hadits yang dikumpulkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Minhâj. Imam Asy-Syuyuthi juga mengarang kitab yang membahas maysru`-nya mengangkat kedua tangan ketika berdo’a dalam kitab Fadzdzul Wi`â’i fî Ahadîtsi Raf`i al-Yadaini fî ad-Du‘â‘. Imam Abu Bakar Al-Jazairi juga mengungkapkan bahwa mengangkat tangan ketika berdo’a disyari’atkan. Salah satu contoh haditsnya adalah: اِنَّ رَبَّكُمْ حَيِيىٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْىِ مِنْ عَبْدِهِ اِذَا رَفَعَ اِلَيْهِ يَدَيْهِ اَنْ يُرَدُّ هُمَا صِفْرًا (البخارى، ومسلم، والترمذى، وابن ماجه) Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT.itu Pemalu dan Maha mulia (karunia-Nya), Dia malu pada hamba-Nya yang apabila mengangkat kedua tangannya untuk (berdo`a) namun Ia menolaknya dengan hampa” (HR . Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah). Jadi mengangkat tangan ketika berdo’a memiliki dasar dan tuntunannya. Kendatipun tidak mengangkat tangan juga tidak disalahkan. Sedangkan yang harus diperhatikan bahwa jangan sekali-kali menyalahkan orang yang mengangkat tangan dalam berdo’a karena mengangkat tangan dalam berdo’a memiliki fadhilah (keutamaan) seperti yang disebutkan dalam hadits-hadits Nabi SAW. 2) Mengusapkan tangan kewajah usai berdo`a Tanya: Bagaimana dengan mengusapkannya ketika menyudahi do’a?. Jawab: Masalah kedua yang mesti dijawab dari pertanyaan diatas adalah mengusapkan tangan ke wajah usai berdo`a. Sebagaimana mengangkat tangan dalam berdo`a, mengusapkannya kewajah ketika usai berdo`a pun telah disyari’atkan. Jika tidak mau mengerjakannya janganlah menyalahkan orang yang melakukannya. Bagi yang mengusapkan tangan kewajah memiliki dalil yakni Hadits Nabi SAW: إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَرَفَعَ يَدَيْهِ فَإِنَّ الله َتَعَالَى جَاعِلٌ فِى يَدَيْهِ بَرَكَةً وَرَحْمَةً فَلاَ يَرُدُّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ (رواه ابوداود، الترمذى, وابن ماجة، واحمد، والطبرانى) Artinya: “Jika salah seorang dari kalian berdo’a, kemudian mengangkat kedua tangannya, maka sesungguhnya Allah SWT.ta`ala menurunkan pada kedua tangannya berkah dan rahmat, dan Allah SWT.tidak menolak hingga kedua tangannya diusapkan kewajahnya” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Ath-Thabrani). 3) Dua adzan pada shalat jum’at Tanya: Bagaimana jika ada yang membid’ahkan dua adzan pada hari jum`at yang umumnya belaku di Indonesia,?. Jawab: Termasuk sikap yang ekstrem orang yang membid`ahkan dua adzan pada hari Jum`at. Imam Abu Bakar Al-Jazairi mengucapkan, “Adzan Jum`at pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan umar hanya sekali saja. Dan ketika ketika Utsman menjabat sebagai khalifah beliau menambah adzan menjadi dua kali, disebabkan luasnya negara dan pasar-pasar, maka beliau mengambil i`tibar dengan al-mashlahah al-mursalah. Sungguh beliau dan para sahabat telah berbuat benar dan beliau tetapkan itu bersama para sahabat ra.” Mengenai adzan dua kali dilahirkan dari dalil berikut ini: Imam Asy-Syafi`i meriwayatkan: اَخْبِرْنَا الثِّقَةُ عَنِ الزُّهْرِىْ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ اَنَّ اْلاَذَانَ كَانَ اَوَّلُهُ لِلْجُمُعَةِ حِيْنَ يَجْلِسُ اْلاِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ، عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَاَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ، فَلَمَّا كَانَ خِلاَفَةُ عُثْمَانِ وَكَثُرَ النَّاسُ اَمَرَ عُثْمَانُ بِأَذَانٍ ثَانٍ, فَأُذِّنَ بِهِ فَثَبَتَ اْلاَمْرَ عَلَى ذَالِكَ (مسند الشافعى) (البخارى، وابو داود، والنسائى، والترمذى، واحمد، والطبرنى والبيهقى – فتح البرى) Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami ats-tsiqah/orang yang terpercaya (yakni Laits bin Sa`ad) dari Zuhri dari Saib bin Yazid dia telah berkata: “Pada mulanya adzan hari Jum`at adalah pada saat imam telah duduk diatas mimbar, yakni pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar. Namun pada masa khalifah Utsman, karena pada saat itu manusia telah semakin banyak, lalu ia memerintahkan untuk mengadakan adzan kedua, dan hal Itu terus berlaku hingga sekarang” (Musnad Asy-Syafi`i) (juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad, Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi, lihat Fathul Bari) Jadi adzan dua kali merupakan salah satu sunnah Khulafâ ar-Rasyidîn atau salah satu amalan yang di contohkan oleh Salâf ash-Shâlih. Walaupun ada yang tidak mau mengamalkannya, namun mereka tidak boleh menyebutnya bid`ah. Khalifah ‘Utsman dan para Sahabat di zamannya melihat ada kebaikan dan kemanfaatan untuk melakukan adzan pada hari Jum’at sebanyak dua kali terutama untuk mengingatkan manusia yang telah semakin banyak dan semakin lemah iman-nya. Tanya: Bagaimana kedudukannya mengikuti Para Sahabat Nabi SAW dalam mengambil dalil hukum?. Jawab: Berpegang teguh pada sunnah Nabi SAW dan para Sahabatnya yang setia sangat dianjurkan, sebagaimana penjelasan berikut ini: Allah SWT.Ta’ala dan Rasul-Nya telah menegaskan tentang keutamaan mengikuti para Sahabat Nabi SAW dalam kebaikan. Allah SWT.Ta’ala berfirman: وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ Artinya: Yaitu orang-orang yang pertama kali beriman, dari kaum Muhajirin dan Anshor, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik Allah SWT.ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya…” (QS. At-Taubah: 100). Rasulullah SAW bersabda: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِىْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِي Artinya: “Hendaklah kalian semua mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin sesudahku” (Sunan Abu Dawud: 4607, Shahih Sunan At-Tirmidzi: 2676, Sunan Ibnu Majah: 42, Musnad Imam Ahmad: 4/126). Rasulullah SAW mengisyaratkan bahwa golongan yang selamat adalah orang-orang yang berpegang teguh terhadap apa yang diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya (مَا اَنَا عَلَيْهِ وَاَصْحَابِى). Disebutkan juga dalam sebuah riwayat yang marfu’ hingga Ibnu Mas’ud (Hadits Marfu’): اِنَّ الله نَظَرَ اِلَى قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثُهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِى قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوْبِ اَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَجَعَلَهُمْ وَزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَارَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ الله ِحَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ الله ِسَيِّئٌ Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT.memandang kepada hati para hamba-Nya, kemudian Ia dapati hati Muhammad SAW adalah hati yang paling baik diantara para hamba-Nya, maka dipilih-Nya dan diutuslah beliau sebagai Rasul-Nya. Kemudian Allah SWT.memandang lagi hati para hamba-Nya setelah hati nabi Muhammad, kemudian didapati hati para Sahabat adalah hati yang paling baik diantara para hamba, maka dijadikanlah para Sahabat sebagai penggawa (menteri) Nabi SAW, lalu mereka berjuang atas agama-Nya. Maka apa saja yang dipandang baik menurut kaum muslimin maka baik juga menurut Allah SWT.dan apa saja yang dipandang buruk menurut kaum muslimin maka buruk pula menurut Allah” (Kaum Muslimin yang dimaksud disini adalah para Sahabat Nabi). Jadi jika apa yang diamalkan oleh para sahabat dinilai memiliki maslahat untuk diamalkan masa sekarang, maka hal tersebut telah dibenarkan oleh Allah SWT.Ta’ala dan Rasul-Nya. 4) Shalat Sunnah Diantara Dua Adzan Jum`at Tanya: Saya pernah disalahkan (di-bid’ah-kan) ketika menjalankan shalat sunnah diantara dua adzan ketika hari jum’at, jadi bagaimana kedudukan shalat sunah tersebut?. Jawab: Shalat yang biasa dilakukan antara dua adzan Jum’at adalah perkara khilafiyah yang mesti dicermati dengan tepat, mengingat adzan dua juga ada sejak zaman Khalifah Utsman ra. Berikut beberapa pertimbangan yang harus dicermati: (a). Dianjurkannya shalat sunah pada Masjid yang menerapkan adzan dua kali didasarkan pada dalil umum. Dan apa saja yang dilahirkan dari dalil umum tidak dapat dihukumi bid’ah. Dalil umum yang dimaksud adalah: عَنْ عَبْدِ الله ِابْنِ مُغَفَّلِ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَيْنَ كُلِّ اَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ اَذَانَيْنِ صَلاَةٌ ، بَيْنَ كُلِّ اَذَانَيْنِ صَلاَةٌ ، لِمَنْ شَاءَ (رواه البخارى ومسلم) Artinya: Dari Abdillah bin Mughaffal ra., berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Antara setiap dua adzan ada shalat, antara setiap dua adzan ada shalat, antara setiap dua adzan ada shalat, bagi yang ingin (melakukannya)” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dikatakan dalil umum karena hadits ini tidak khusus untuk shalat antara adzan dua hari Juma’at saja. Hadits tersebut secara umum berlaku juga sebagai dalil shalat rawatib antara adzan dan iqamah sebelum shalat berjama’ah dimulai. Termasuk juga shalat sunah antara dua adzan hari Jum’at sembari menantikan khatib menaiki mimbar. Karena ketika khatib belum menaiki mimbar kita masih diperbolehkan menunaikan shalat sunnah. (b). Tidak dibenarkan melarang orang menjalankan shalat sunah antara dua adzan pada hari jum’at. Perihal ini didasarkan pada atsar Abdullah bin Umar, yaitu: اَنَا لاَ اَنْهَى عَبْدًا يُصَلِّى بِلَيْلٍ اَوْنَهَارٍ, وَلَكِنْ لاَ تَتَحَرُّوْا طُلُوْعَ الشَمْسِ وَلاَ غُرُوْبِهَا Artinya: "Aku tidak akan melarang seorang hamba melakukan shalat pada siang hari atau malam hari, akan tetapi janganlah mengerjakannya pada saat tepat mata hari terbit dan tepat pada terbenamnya”. Menurut Imam Abu Bakar Al-Jazairi maksud perkataan Ibnu Umar ini menyiratkan Firman Allah SWT.Ta`ala: أَرَءَيــْتَ الَّذِى يَنْهَى، عَبْدًا اِذَا صَلَّى Artinya: “Apakah kamu melihat orang yang melarang hamba ketika ia (mengerjakan) shalat” (QS. Al-Alaq: 9-10). Kesimpulan: Jadi boleh menjalankan Shalat sunnah diantara dua adzan Jum`at karena ia didasarkan dari dalil umum. Selain itu tidak boleh melarang siapapun melakukan shalat pada waktu tersebut karena tidak termasuk waktu yang diharamkan untuk shalat. Dan boleh meninggalkannya (tidak menjalankan) bagi yang tidak suka menjalankannya. 5) Khatib Memegang Tongkat Ketika Khutbah Tanya: Suatu ketika saya mendapati suatu Masjid dimana Khatib-nya memegang tongkat ketika khutbah. Namun disaat yang lain ada yang menyampaikan bahwa perbuatan tersebut merupakan bid’ah dan tidak ada dasarnya, bagaimana kiranya tentang masalah ini?. Jawab: Sebagian umat Islam masih menggunakan tongkat ketika berkhutbah walaupun pada akhir-akhir ini telah berkurang. Namun sungguh berlebih-lebihan orang yang mengklaim bid`ah kepada orang yang tetap mengamalkannya. Sikap ini hanya menonjolkan perselisihan dan menyombongkan pendapatnya sendiri. Untuk itu perlu dijelaskan bahwa bagi yang mengamalkannya memiliki dalil sebagai berikut: اَخْبِرْنَا عَبْدُ الْمَجِيْدِ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ اَكَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُ عَلَى عَصًا اِذَخَطَبَ؟، قَالَ: نَعَمْ ، يَعْتَمِدُ عَلَيْهَا اعْتِمَادًا (مسند الشافعى: ٤٢١). Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Abdul Majid bin Abdul Aziz dari Ibnu Juraij, dia berkata, Aku bertanya kepada Atha`, Apakah Rosulullah SAW berdiri dengan memegang tongkat ketika berkhutbah?”, Jawabnya: “Ya, Beliau berpegang pada tongkatnya kuat-kuat” (Musnad Asy-Syâfi`i: 421) اَخْبِرْنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَّنِى اللَّيْثُ عَنْ عَطَاءٍ اَنَّ رَسُوْلَ الله ِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا خَطَبَ يَعْتَمِدُ عَلَى عَنَزَتِهِ اِعْتِمَادًا (مسند الشافعى: ٤٢٢) Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dia berkata, telah meriwayatkan kepadaku Laits dari Atha’: “Sesungguhnya Rasulullah SAW apabila berkhutbah biasanya berpegang kuat pada tombaknya” (Musnad Asy-Syâfi`i: 422). Jadi sungguh berlebih-lebihan orang-orang yang mengklaim menggunakan tongkat tersebut bid`ah. Sedangkan barang siapa yang menyukai menggunakan tongkat silahkan asalkan tidak diwajibkan atau dijadikan rukun khutbah. Bagi kita yang tidak mengamalkan dilarang melarang jama`ah pada suatu Masjid yang telah biasa mengamalkannya, karena tindakan ini dapat menimbulkan pertikaian. 6) Tentang Hadits Larangan Bercakap-cakap dan Shalawat Tanya: Kami biasa sebelum memulai aktivitas ibadah Jum’at membaca hadits larangan bercakap-cakap untuk mengingatkan Jama’ah, memberi isyarat agar khathib menaiki mimbar dengan shalawat dan membaca shalawat ketika diantara dua khutbah. Lalu ada yang kemudian melarangnya bagaimana dengan kedudukan amaliyah ini?. Jawab: Sungguh yang ditanyakan ini adalah perkara yang furuiyyah. Adapun jawaban terhadap pertanyaan ini antaralain: (a). Ketika Khathib berkhutbah tidak ada aktivitas lain bagi jama’ah kecuali mendengar dan memperhatikan. Barangsiapa yang bercakap-cakap, termasuk juga melakukan shalat (selain Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid), membaca al-Qur’an, membaca buku, berdzikir dan yang lainnya ketika Khatib sedang berkhutbah maka sia-sia semua pahala jum’ahnya. Oleh karena itu, tidak ada salahnya (boleh) senantiasa memberi peringatan terhadap jama’ah dengan membaca hadits Nabi SAW. Dan hal ini dilakukan ketika khatib belum menaiki mimbar sehingga tidak menggangu rukun-rukun ibadah jum’ah. (b). Tentang pembacaan shalawat ketika khatib menaiki mimbar pun masih merupakan bagian dari persiapan sebelum Khatib menaiki mimbar jadi kedudukannya boleh selama tidak mengubah rukun-rukun Jum’at. (c). Diantara dua khutbah jama’ah dianjurkan berdo’a, sedangkan jika ada yang membaca shalawat pun tidak apa-apa kerena shalawat adalah bagian dari do’a. Selain itu ada dalil-dalil umum yang menganjurkan kita agar banyak bershalawat dihari Jum’at, yaitu: اَخْبِرْنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَّنِى صَفْوَانُ بْنُ سُلَيْمٍ اَنَّ رَسُوْلَ الله ِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمْعَةِ وَلَيْلَةُ الْجُمْعَةِ فَاَكْثَرُوْا الصَّلاَةَ عَلَىَّ (مسند الشافعى٤٩٧:). Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dia berkata, telah mngabarkan padaku Shafwan bin Sulaim, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila telah tiba hari jum’ah dan malam jum’ah, maka perbanyaklah shalawat kepadaku” (Musnad Asy-Syafi’i: 497). Hadits yang isinya serupa juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan sanad shahih. 7) Do’a Qunut Tanya: Apa hukumnya membaca qunut pada shalat Subuh dan shalat Witir?, karena belakangan ini saya sering mendengar ada yang menyebutnya bid’ah. Jawab: Didalam madzhab Syafi’I pada shalat Subuh dan shalat Witir dianjurkan membaca qunut, yang dikenal dengan sebutan Qunut Rathibah. Hukum membaca Qunut Rathibah adalah Sunnah Ab’adh (sunah yang dikuatkan). Sangat disayangkan apabila ada orang yang menyebutnya sebagai bid’ah. Sikap yang demikian ini sangat kaku dan dilakukan oleh orang yang tidak memahami adab khilafiyah. Padahal ulama bersepakat bahwa tidak ada bid’ah pada perkara khilafiyah dan perkara yang memiliki dalil khusus dan dalil umum. Adapun dalil –dalil Qunut adalah: Dalil Pertama: عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِىٍّ رَضِىَ الله ُعَنْهُمَا اَنَّهُ قَالَ : عَلَّمَنِى رَسُوْلُ الله ِصَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ اَقُوْلُهُنَّ فِى قُنُوْتِ الْوِتْرِ: "اَللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِى فِيْْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِى فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِى فِيْمَا اَعْطَيْتَ، وَقِنِى شَرَّمَا قَضَيْتَ، فَاِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ ، وَاِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ" (البخارى ومسلم، وابوداود والترمذى)، وَزَادَ الطَّبْرَانِى وَالْبَيْهَقِى: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" , وَزَادَ النَّسَائِى مِنْ وَجْهٍ آ خَرَ فِى آ خِرِهِ: وَصَلَّى الله ُعَلَى النَّبِى". وَلِلْبَيْهَقِى: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: "كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يـُعَلِّمُنَا دُعَاءً نَدْعُوْبِهِ فِى الْقُنُوْتِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ".ِ Artinya: “Dari Hassan bin Ali ra., Ia berkata, bahwasanya Rasulullah SAW telah mengajarkan kepadaku kalimat-kalimat untuk aku ucapkan pada qunut shalat witir, yakni sebagai berikut: “Allahhummahdini…(Yang artinya: Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana orang yang Engkau beri petunjuk, maafkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau ma’afkan, lindungilah aku sebagaimana orang yang Engkau lindungi, berkahilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau karuniai berkah, Hindarkanlah aku dari keputusan-Mu yang buruk, sesungguhnya Engkau Pemberi keputusan dan tidak ada yang dapat mengatur Engkau, Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau lindungi, Maha suci Engkau yang Maha Tinggi)” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi). Ditambahkan dalam Riwayat At-Thabrani dan Al-Baihaqi: Wa la ya’izzu man ‘adait (tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi). Dan ditambahkan oleh An-Nasa’I diakhir kalimat hadits tersebut Shalawat untuk Nabi SAW. Dan dalam riwayat Al-Baihaqi disebutkan: Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: “bahwa Rasulullah SAW mengajari kami do’a yang kami baca pada qunut ketika shalat Subuh”. Dalil Kedua: Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqy, dan Al-Hakim dan di-shahihkan olehnya, yaitu: مَا زَالَ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْـيَا. Artinya: “Tidak berhenti Rasulullah SAW membaca qunut pada shalat fajar (shalat Shubuh) hingga beliau meninggal dinia” (HR. Ahmad, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqy, dan Al-Hakim, merupakan hadits Shahih, Lihat Sayyid Sabiq, Fiqus-Sunnah, 2: 38). Dalil Ketiga: عَنْ اَنَسٍ قَالَ: كَانَ الْقُنُوْتُ فِى الْمَغْرِبِ وَالْفَجْرِ Artinya: Dari Anas ra., ia berkata: sesungguhnya Nabi SAW qunut pada shalat Maghrib dan shalat fajar (Shubuh)” (Shahih Al-Bukhari, 127). Dalil Keempat: عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكِ قَالَ: سُئِلَ عَنِ الْقُنُوْتِ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ. فَقَالَ: كُنَّا نَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ وَبَعْدَهُ. (سنن ابن ماجه) Artinya: “Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: ia telah ditanya tentang perkara qunut Shubuh, maka ia menjawab: “Kami berqunut sebelum ruku’ dan sesudahnya” (Sunan Ibnu Majah). Dalil Kelima: عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ فَيَدْعُوْ بِهَذَا الدُّعَاءِ: اَللّهُمَّ اهْدِنِى فِيْمَنْ هَدَيْتَ اِلَى آخِرِهِ (روه الحاكم وصححه) Artinya: Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW ketika mengangkat kepalanya dari rukuk pada shalat shubuh di raka’at yang kedua, beliau mengangkat kedua tangannya kemudian membaca do’a (qunut): Allahummahdini fiman hadait hingga selesai” (HR. Hakim dan di-Shahih-kannya) Tanya: Bagaimana dengan keterangan yang mengatakan bahwa hadits dan hukum qunut telah di-mansukh (dihapus)?. Jawab: Sesungguhnya yang telah di-mansukh adalah qunut yang dilakukan oleh Nabi SAW yang isinya mengutuk suatu kaum yang telah mendurhakai Allah SWT.dan Menzalimi kaum mukminin. Sebagaimana diterangkan: عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: اَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنٌتُ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ يَدْعُوْ عَلَى حَيٍّ مِنْ اَحْيَاءِ الْعَرَبِ شَهْرًا ثُمَّ تَرَكَ. (سنن ابن ماجه). Artinya: Dari Anas bin Malik ra., “Sesungguhnya Rasulullah SAW (pernah) melakukan qunut Shubuh (yang isinya) mendo’akan kejelekan (mengutuk) kepada salah satu perkampungan ‘Arab selama satu bulan. Lalu beliau tinggalkan (tidak membacanya lagi). (Sunan Ibnu Majah). Jadi qunut yang di-mansukh adalah qunut yang berkaitan dengan mengutuk suatu kaum. Sedangkan qunut pada shalat shubuh dan witir yang isinya kebaikan sebagaimana hadits yang telah dikemukakan diawal tetap masyru’ hukumya. Lebih jelasnya berikut keterangannya: عَنْ اَنَسٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُوْ عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَ, فَاَمَّا فِى الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا (رواه البيهقى والدارقطنى) Artinya: “Dari Anas ra., Sesungguhnya Nabi SAW telah melakukan qunut sebulan untuk mendo’akan (kejelekan atau mengutuk) mereka (penduduk suatu kampung) kemudian beliau meninggalkannya, sedangkan pada Shalat Shubuh beliau tidak berhenti membaca qunut hingga meninggal dunia” (HR. Al-Baihaqy dan Ad-Daruquthny). Tanya: Bagaimana keterangan tegasnya pada madzhab Asy-Syafi’I tentang qunut Shubuh?. Jawab: Pendapat yang masyhur dikalangan Asy-Syafi’iyah kedudukan qunut Shubuh adalah “Sunnat Ab’adh” (sunnah yang ditekankan/dikuatkan). Diterangkan oleh Imam Nawawi Dalam Kitab Majmu’ Syarah Muhadzab tentang pendapat madzhab Syafi’iyah dan para Salafus Shalih, yaitu sebagai berikut: مَذْهَبُنَا اَنَّهُ يُسْتَحَبُّ الْقُنُوْتُ فِيْهَا سِوَاءٌ نَزَلَتْ نَازِلَةٌ اَمْ لَمْ تَنْزِلْ وَبِهَذَا قَالَ اَكْثَرُ السَّلَفِ وَمِنْ بَعْدِهِمْ اَوْكَثِيْرٌ مِنْهُمْ وَمِمَّنْ قَالَ بِهِ اَبُوْبَكْرٍ الصِّدِّيْقُ وَعُمَرُابْنُ الْخَطَّابِ وَعُثْمَانَ وَعَلِىٌّ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَالْبَرَاءُ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ (المجموع, 3: 503) Artinya: Imam Nawawi berkata: “Dalam madzhab kita (Madzhab Asy-Syafi’I) sunnat (mustahab) hukumnya membaca qunut dalam Shalat Shubuh, baik ketika datangnya bala’ atau tidak. Inilah pendapat yang banyak dari kalangan ulama-ulama salaf atau dapat disebut pendapat yang paling banyak, dan juga pendapat-pendapat (para Sahabat) sebelum ulama salaf tersebut. Diantaranya pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq, ‘Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas dan Bara’ bin ‘Adzib Radiyallahu ‘anhum” (Imam Nawawi, Kitab Majmu’, 3: 503). Tanya Lagi: Lalu bagaimana dengan qunut yang dibaca sewaktu-waktu saja?. Jawab: Dalam madzhab Syafi’I yang anda maksudkan adalah Qunut Nazilah. Qunut Nazilah hanya dibaca sewaktu-waktu jika umat Islam disuatu tempat atau negeri dalam keadaan mengalami masa perang atau keadaan darurat lainnya. Perhatian: Hanya orang yang berlebih-lebihan dan egois yang tetap ngotot mebid’ahkan qunut. Karena telah banyak sekali dalil-dalil yang menegaskan masyru’-nya melakukan qunut. 8) Tentang Shalat Sunnah Rawatib Tanya: Suatu ketika ada yang menyampaikan bahwa Shalat Sunnah Rawatib (Yang mengikuti Shalat Fardhu), hanya terdiri dari: Qabliyah Subuh, Qabliyah Zhuhur, Ba’diyah Zhuhur, Ba’diyah Maghrib dan Ba’diyah Isya. Sedangkan pada Shalat Ashar tidak ada Rawatib dan juga disampaikan tidak perlu shalat Qabliyah Maghrib dan Qabliyah Isya. Tolong jelaskan?. Jawab: Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa hal yang mesti dicermati, Yakni: a. Kata “tidak ada” artinya larangan dan kata “tidak perlu” artinya percuma. Jika ada yang mengungkapkan yang demikian sungguh ini mencerminkan kurangnya pengetahuannya tentang fikih dan hadits-hadits Nabi SAW. Ungkapan ini juga mencerminkan pengabaian terhadap fatwa-fatwa para Mujtahid (Ahli Fikih). b. Adapun dalil-dalil dalam menjalankan Shalat Sunnah Rawatib antara lain: وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ الله ُعَنْهُمَا قَالَ: "صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ الله ِص رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اْلعِشَاءِ" (رواه البخارى ومسلم) Artinya: Dari Ibnu Umar ra., Ia berkata: “Aku Shalat bersama Rasulullah SAW dua rekaat sebelum Zhuhur, dua rekaat sesudahnya, dua rekaat sesudah Jum’at, dua rekaat sesudah Maghrib, dan dua reka’at sesudah Isya” (HR. Bukhari dan Muslim). Jika yang dibaca hanya hadits ini maka akan muncul anggapan seperti yang telah disebutkan. Lalu menolak adanya shalat sunah yang lain. Namun ada hadits yang lainnya lagi: رَحمَ الله ُامْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ اَرْبَعًا (ابو داود والترمذى) Artinya: “Allah SWT.akan merahmati orang yang Shalat Qabliyah Ashar empat rekaat” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi) وَعَنْ عَلِىّ عَنِ النَّبِيّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَانَ يُصَلِّى قَبْل َالْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ (رواه ابو داود وصحيح) Artinya: Dari Ali ra., bahwa Nabi SAW bersabda: “Shalatlah sebelum Ashar dua rekaat” (HR. Abu Dawud dengan derajad Shahih) وَعَنْ عَبْدِ الله ِابْنِ مُغَفَّلٍ رَضِىَ الله ُعَنْهُ عَنِ النَّبِيّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "صَلُّوْا قَبْلَ الْمَغْرِبِ (قَالَ فِى الثَّالِثـَةِ) لِمَنْ شَاءَ (رواه البخارى) Artinya: Dari Abdillah bin Mughaffal ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Shalatlah sebelum Maghrib dua rekaat (disebutkan sebanyak tiga kali) bagi yang mau” (HR. Bukhari). Mencermati dalil-dalil ini berarti tidak benar apabila ada yang mengatakan Shalat Ashar tidak memiliki Shalat Rawatib begitupun dengan Shalat Qabliyah Maghrib dan Qabliyah Isya’. Hanya saja Shalat Sunnah Rawatib itu sendiri dibagi menjadi dua, yakni: Sunnah Muakkad (Yang ditekankan) dan Sunnah Gairu Muakkad (dianjurkan bagi yang mau menjalankan saja). Sedangkan yang tidak ada Shalat Rawatib hanya pada ba’diyah Shubuh dan ba’diyah Ashar. Selain itu disunnahkan. c. Selain itu ada anjuran bahwa antara adzan dan iqamah sebaiknya dilakukan Shalat sunnah. Sebagaimana keterangan hadits berikut ini: بَيْنَ كُلِّ آذَانٍ وَاِقَامَةٍ صَلاَةٌ (رواه البخارى ومسلم) Artinya: “Setiap antara adzan dan iqamah ada Shalat” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) عَنْ عَبْدِ الله ِابْنِ مُغَفَّلِ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِص: بَيْنَ كُلِّ اَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ اَذَانَيْنِ صَلاَةٌ ، بَيْنَ كُلِّ اَذَانَيْنِ صَلاَةٌ ، لِمَنْ شَاءَ (رواه البخارى ومسلم) Artinya: Dari Abdillah bin Mughaffal ra., berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Antara setiap dua adzan ada shalat, antara setiap dua adzan ada shalat, antara setiap dua adzan ada shalat, bagi yang ingin (melakukannya)” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 9) Tentang Bilangan Shalat Tarawih Tanya: Berapa bilangan Shalat Tarawih?, kami sering kebingungan untuk menyikapi perdebatan antara yang 20 rekaat dengan yang 8 rekaat. Jawab: Telah terjadi Khilafiyah dalam menentukan bilangan Shalat Tarawih. Dalam buku karya Ja’far Subhani, al-Bid’ah: Mafhumuha wa Atsaruha (Kupas Tuntas Masalah Bid’ah), ada beberapa perbedaan pendapat dikalangan Mujtahid antara lain akan dikutipkan disini: a. Imam Ja’far Ash-Shaddiq meriwayatkan: “Bahwa Nabi SAW secara bertahap menjalankan Shalat malam pada bulan suci Ramadhan. Pada setiap malamnya 20 rekaat dan pada setiap sepuluh malam terakhir beliau mengerjakan 30 rekaat. Khusus malam ke-21 dan malam ke-23 beliau mengerjakan sebanyak 100 rekaat” (Ath-Thusi, At-Tahdzib); b. Ibnu Qudamah mengemukakan bahwa Imam Asy-Syafi’I, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Ats-Tsauri berpendapat bahwa Shalat malam pada bulan suci Ramadhan sebanyak 20 rekaat (Al-Mughni, 2/137-138); c. Imam Malik menganjurkan 36 rekaat berdasarkan sunah Penduduk Madinah (Al-Mughni, 2/137-138); penduduk Madinah berinisiatif ingin menyaingi shalat tarawih penduduk Mekkah. d. Para Ulama dari berbagi Madzhab juga mengakui bahwa Shalat Tarawih berjumlah 8 rekaat. Yaitu berangkat dari hadits yang menerangkan Nabi SAW beberapa kali mengimami shalat malam pada bulan suci Ramadhan sebanyak 8 rekaat (Bukhari dan Muslim). Tidak dibenarkan apabila kita saling menyalahkan antara pendapat-pendapat tersebut. Untuk mengamalkannya silahkan menurut pilihan masing-masing. Sedangkan apabila ingin dijalankan berjama’ah di Masjid harus melalui kesepakatan bersama jama’ah Masjid utamanya Ta’mir Masjid. Selanjutnya hindari menyelisihi apa yang telah ditetapkan dan dibiasaklan oleh masyarakat suatu daerah demi menjaga Ukhuwah Islamiyah. Kemudian perlu ditegaskan lagi, bahwa hindari membid’ahkan perkara yang khilafiyah, karena para Mujtahid (kendatipun berbeda) senantiasa menggali hukum berdasarkan dalil-dalil syari’at. Tanya Lagi: Tolong sebutkan dalil-dalil yang dari perbedaan tersebut?. Jawab: Dalil-dalilnya adalah: 1) Dalil yang 23 rekaat (20 Tarawih + 3 Witir): كَانَ النَّاسُ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ يَقُوْمُوْنََ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً (رواه مالك). اِنَّهُمْ يَقُوْمُوْنََ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَابِ رَضِيَ الله عَنْهُ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً (رواه البيهقى) Artinya: “Orang-orang (para Sahabat) di zaman Umar bin Khathab melakukan shalat (tarawih) di bulan Ramadhan 23 rekaat” (HR. Malik). “Bahwa sesungguhnya mereka (para Sahabat) di zaman Umar bin Khathab melakukan shalat (tarawih) di bulan Ramadhan 20 rekaat” (HR. Al-Baihaqi). 2) Dalil yang 11 rekaat (8 Tarawih + 3 Witir): عَنْ جَابِرٍ اَنَّهُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمْ ثَمَانِيْ رَكَعَاتٍ وَالْوِتْرِ ثُمَّ انْتَظَرُوْهُ فِي الْقَابِلَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ اِلَيْهِمْ (ابن خزيمة وابن حبّان). عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: مَاكَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِىْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً...(رواه البخارى ومسلم) Artinya: Dari Jabir ra., “Bahwa Rasulullah SAW shalat beserta mereka (para Sahabat) delapan rekaat ditambah shalat Witir, kemudian mereka menunggu pada malam berikutnya, maka Nabi tidak keluar (lagi) shalat bersama mereka” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban). Dan dari Aisyah rah., “bahwa Nabi SAW Shalat pada bulan Ramadhan dan pada bulan lainnya, tidak lebih dari 11 rekaat” (HR. Bukhari dan Muslim). Catatan: Dalam mengerjakan shalat Tarawih lakukanlah yang ringan jangan dipersulit. Sejak zaman khalifah Umar bin Khathab shalat tarawih dianjurkan berjama’ah di Masjid dikarenakan untuk syi’ar dan hal ini telah menjadi ijma’ Sahabat. 10) Tentang Lafadz Ushalli Tanya: Apa hukumnya melafadzkan Ushalli sebelum memulai Shalat?, saya sendiri sering melakukannya namun suatu ketika ada yang melarangnya, tolong jelaskan?. Jawab: Masalah Ushalli memang sejak lama telah menjadi perdebatan terutama dikalangan masyarakat awam. Ada yang terbiasa memakainya dan ada juga yang malah membid’ahkannya. Berikut beberapa penjelasan tentangnya: a. Tentang Niat Shalat. Niat merupakan salah satu dari ke-13 rukun Shalat. Dalam madzhab Syafi’iyah niat digolongkan sebagai Rukun Qalbi, artinya kewajiban berniat bagi orang yang melakukan shalat adalah pekerjaan hati (dilakukan oleh hati). Menurut pendapat yang masyhur dikalangan Syafi’iyah pengertian niat adalah: اَلنِّـيَّةُ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ. Artinya: “Niat adalah menyengaja melakukan sesuatu bersamaan dengan perbuatan” ( Kitab Safînatun Najâ). Jadi niat shalat itu sendiri dilakukan bersamaan dengan perbuatan dan bukan sebelumnya atau sesudahnya. Pada madzhab Syafi’iyah, niat shalat dilakukan didalam hati bersamaan dengan Takbiratul Ihram. b. Tentang Lafadz-lafadz Ushalli. Mengucapkan ushalli sebelum shalat dilakukan untuk membantu mengingatkan dan menguatkan hati saat berniat memulai shalat. Perihal ini sangat dibutuhkan sekali khususnya bagi orang awam. Jadi mengucapkan (dengan lisan) ushalli sebelum shalat hukumnya tidak wajib, namun dianjurkan oleh ulama untuk menguatkan hati ketika berniat. Mengucapkan ushalli juga tidak bid’ah karena diucapkan diluar shalat dan termasuk bagian dari persiapan shalat. Sedangkan dasar kewajiban berniat itu sendiri adalah: اِنَّمَا اْلاَعْمَلُ بِالنِّيَاتِ، وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى Artinya: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim). 11) Hukum Berjabat Tangan Setelah Shalat Tanya: Apa hukum nya berjabat tangan setelah shalat?, mengapa ada yang berpendapat hal ini merupakan salah satu bid’ah didalam shalat?. Jawab: Ada beberapa penjelasan yang mesti dicermati dalam menjawab pertanya’an ini, yaitu: Pertama, Berjabat Tangan antara umat muslim disyari’atkan didalam Islam sebagaimana hadits Nabi SAW: اِنَّ الْمُسْلِمَ اِذَا لَقِيَ اَخَاهُ الْمُسْلِمِ فَأَخَذَ بِيَدِهِ, تَحَاتَتْ عَنْهُمَا ذُنُوْبُهُمَا كَمَا تَحَاتُ الْوَرَقَ عَنِ الشَّجَرَةِ الْيَابِسَةِ فِى يَوْمٍ رِيْحٍ عَاصِفٍ, وَاِلاَّ غُفِرَلَهُمَا ذُنُوْبُهُمَا وَلَوْكَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبِحَارِ (رواه الطبرانى) Artinya: “Sesungguhnya apabila seorang muslim yang berjumpa dengan saudara muslimnya yang lain lalu berjabat tangan, maka akan berguguranlah dosa-dosa keduanya sebagaimana bergugurannya dedaunan dari pohonnya yang kering pada musim kemarau, dan diampuni dosa-dosa keduanya walaupun banyaknya seperti buih di lautan” (HR. Ath-Thabrani). Hadits menegaskan tentang masyru’-nya berjabat tangan juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Bejabat tangan antara sesama muslim dianjurkan oleh Nabi SAW dan dibiasakan oleh para Shahabat. Membiasakan berjabat tangan akan mempererat tali persaudaraan dan menghilangkan permusuhan. Kedua, Berjabat tangan setelah shalat bukanlah termasuk bid’ah atau mengadakan sesuatu yang baru didalam shalat. Karena defenisi shalat itu sendiri adalah perbuatan yang diawali dari takbir dan diakhiri dengan salam. Sedangkan berjabat tangan atau salaman tersebut dilakukan sebelum atau sesudah shalat. Jadi termasuk berlebih-lebihan jika ada pendapat yang mengatakan “mengkhususkan” berjabat tangan setelah shalat adalah bid’ah. Yang demikian merupakan pembiasaan bukan “pengkhususan”. Berjabat tangan setelah shalat adalah kebiasaan yang baik dan mulia. Ketiga, berjabat tangan ketika berjumpa di masjid justru sangat dianjurkan. Jika belum bersalaman sebelum shalat maka dianjurkan untuk bersalaman sesudah shalat. Hal ini sangat banyak sekali berkahnya dan merupakan sunnah yang agung. (Lihat Fatwa Syaikh Abdullah bin Bazz, Fatawa Muhimmah Tatallqu Bish-Shalah, hal. 50-52). Keempat, Apabila ingin bersalaman setelah shalat sebaiknya dilakukan setelah berdzikir atau berdo’a yang warid. Dan boleh melakukannya secara bersama berbaris seperti yang telah biasa dilakukan. D. Tentang Bermadzhab 1. Defenisi Madzhab Tanya: Apa yang dimaksud dengan Madzhab Fikih itu? Jawab: Menurut istilah ushul fiqh, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid (Ahli Fikih) yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syari’at, serta dengan berbagai macam kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl), yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan utuh (Nahrawi, Al-Imâm Asy-Syâfi’I fi Madzhabayhi al-Qadîm wa al-Jadîd). Sederhananya madzhab merupakan sekumpulan pendapat, fatwa dan ijtihad ulama yang terpercaya dalam menentukan hukum-hukum syari’at (fikih). 2. Bolehkah kita bermadzhab Tanya: Bolehkah apabila kita menganut (muqallid) pada satu madzhab saja?. Jawab: Ya. Memang tidak ada perintah secara langsung untuk mengikuti seorang mujtahid, seorang imam ataupun suatu madzhab. Kita diwajibkan menjalankan hukum-hukum Allah SWT.(hukum Syari`at dan tidak boleh berbuat menyelisihi atau bertentangan dengannya). Akan tetapi fakta menunjukkan, tidak semua orang yang berkemampuan menggali hukum syari`at sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya. Mengingat hanya orang-orang tertentu yang mampu menghafal dan memahami Al-Qur`an, menghafal hadits dan mengetahui seluk beluknya serta menghafal dan mengetahui atsar para Shahabat. Atas dasar inilah kita dianjurkan untuk menjadi muqallid (mengikuti Imam Mujtahid atau fuqaha). Yaitu mengikuti fatwa hukum para Imam Mujtahid dan menjalankan hukum-hukum hasil ijtiihadnya sebagai rujukan. Perlu diketahui bahwa yang kita ikuti dari Para Imam Mujtahid adalah fatwa hukumnya (taqlîd al-ahkâm) bukan mengagungkan orangnya (taklîd asy-syaksh) (Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah). Mengikuti madzhab fikih berarti bukan taklid buta seperti yang biasa dituduhkan. Bagi kita yang tidak dapat menggali hukum sendiri justeru sangat dianjurkan dari pada kita salah dalam berhukum. 3. Adab-adab dalam bermadzhab dan khilafiyah Tanya: Apasaja adab-adab bermadzhab terutama dalam perkara yang berbeda (khilafiyah) agar tidak muncul perpecahan?. Jawab: berikut ini Adab-adab tersebut, yaitu: 1. Tidak boleh fanatik terhadap madzhabnya. Muhammad Jawad Al-Mughniyah berkata: “Orang yang ‘alim, ilmuan, ulama, dan cendekiawan yang sangat fanatik terhadap suatu madzhab atau suatu pendapat, dalam madzhab apa saja, maka sikap orang alim semacam itu jauh lebih buruk dari pada orang yang bodoh. Karena sesungguhnya hanya Islam yang berhak kita banggakan” (Muhammad Jawad Al-Mughniyah, kitab Al-Fiqh ‘Ala Madzahibul Khamsah). 2. Shalih Abdullah Ibnu Humaid berkata: “Wajib bagi pengikut suatu madzhab untuk tidak fanatik (ta’ashub) terhadap madzhab yang diikutinya” (Shalih Abdullah Ibnu Humaid, Adab Khilâf). (terjemahan Abdul Rosyad Shiddiq, Adab Berselisih pendapat, Khazanah Ilmu Solo, 1995). 3. Tidak ada bid’ah pada perbuatan yang telah memiliki dalil khusus (nash) atau dalil umum (mutlaq) (lihat Ja’far Subhani, al-Bid’ah: Mafhumuha wa Atsaruha). 4. Hindari membid’ahkan perkara yang khilafiyah ditengah masyarakat yang telah membiasakannya. Seperti yang kita dapati banyak sekali buku-buku yang membid’ahkan perkara khilafiyah. Sikap semacam ini termasuk kelancangan, kesombongan dan kurang Adab. (Lihat Thaha Jabir Al-‘Alwani, Adâb Al-Ikhtilâf fi al-Islâm). Perhatian: 1. Janganlah mudah menyalahkan dan membid’ahkan perkara-perkara yang khilafiyah. Karena perbuatan ini termasuk “ghuluw” (berlebih-lebihan) dan berlebih-lebihan dalam menghukumi sesuatu (dengan menuduhnya bid’ah) ini pun termasuk bid’ah. Lebih bahayanya lagi dapat merusak Ukhuwah Islamiyah. 2. Abdullah M. Hussain mengatakan: “Perbedaan pendapat (khilafiyah) adalah hal yang wajar dan alamiyah, bukannya sesuatu yang janggal atau menyimpang, sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Perbedaan ijtihad dan pendapat telah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW beliau pun membenarkan berbagai perbedaan dikalangan Shahabat dengan taqrir-nya”. (Abdullah M. Hussain, Al-Wadhîh fi Ushûl al-Fiqh). 3. Fikih adalah lautan yang tidak diketahui tepinya. Suatu masalah dapat saja berkembang, bercabang dan semakin banyak cabangnya. Dan biasanya satu masalah saja melahirkan beberapa pendapat diantara beberapa madzhab, bahkan dapat terjadi perbedaan pendapat pada para ulama fikih dalam satu madzhab saja. Inilah yang disebut khilafiyah. Yakni perbedaan pendapat dalam menentukan kedudukan hukum suatu masalah. (Muhammad Jawad Al-Mughniyah) 4. Tidak boleh mengabaikan, mengejek atau menyalahkan fatwa para Ahli Fikih yang pendapatnya sudah masyhur dan diikuti oleh banyak orang. Seperti Madzhab Hanafi, Maliki, Asy-Syafi’I dan Hambali serta Ja’fari, yang pendapat (madzhab) mereka banyak diikuti oleh umat Islam diseluruh penjuru dunia. Dizaman para Imam itu sendiri tidak pernah dicontohkan perilaku saling menyalahkan atau saling mengabaikan. 5. Apabila pada suatu perkampungan atau lebih tepatnya Masjid telah membiasakan dan mengamalkan fikih ibadah menurut suatu madzhab tertentu (diantara Madzhab yang terpercaya), maka kita dilarang mendakwahkan, mengajarkan, menekankan apalagi memaksakan madzhab dan pendapat kita sendiri. Apalagi jika pendapat kita sama sekali asing bagi mereka. 6. Perlu diketahui bahwa para Mujtahid hanya berbeda pendapat pada perkara yang furuiyyah (perkara cabang). Misalnya dapat kita ambil contoh: Pada perkara Shalat mereka hanya berbeda pada perkara-perkara furu’iyyah seperti cara mengangkat tangan ketika takbir, tentang qunut, cara bersedekap dan lain-lainnya. Sedangkan mereka bersepakat dalam hal pokok yakni: mereka menjaga Shalat 5 waktu pada waktunya, memelihara shalat berjama’ah, memakmurkan masjid. A. Berpegang Pada Tali Allah وَاعْـتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا, وَاذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ اِِذْ كُنْـتُمْ اَعْدَاءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُـلُوْبِكُمْ فَاَصْـبَحْتُمْ بِنِعْمَتِه اِخْوَانًا, وَكُنْـتُمْ عَلىَ شَفَا خُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِنْهَا, كَذَالِكَ يُبَـيِّنُ اللهُ لَكُمْ ايتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْـتَدُوْنَ. Artinya: “Dan berpegang teguhlah kalian kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai–berai (berpecah-belah ), Dan ingatlah akan nikmat Allah SWT.kepadamu, ketika dahulu kalian bermusuh–musuhan, maka Allah SWT.mempersatukan hatimu lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah SWT.orang–orang yang bersaudara. Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah SWT.menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah SWT.menerangkan ayat–ayat Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103). Kita diwajibkan untuk senantiasa berpegang teguh pada ‘tali Allah’. Ada yang berpendapat bahwa “tali Allah” berarti ‘janji kepada Allah’. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud tali Allah SWT.adalah Al-Qur’an, sebagaimana hadits Al-Harits Al-A’war, dari Ali bin Abi Thalib, bahwa ”Al-Qur’an merupakan tali Allah SWT.yang kuat dan jalan-Nya yang lurus”. Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Said Al- Khudri, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kitab Allah SWT.merupaan tali Allah SWT.yang memanjang dari langit ke bumi”. Dengan berpegang teguh pada ‘tali Allah’ kita akan bersatu dan sebaliknya kita dilarang bercerai-berai atau berpecah-belah (tafarruq). Surat Ali Imran ayat 103 diturunkan berkenaan dengan kaum muslim suku Aus dan Kharaj yang bertengkar dan hendak berperang di tanah lapang. Masing-masing telah menghunus pedang dan hendak saling membunuh. Kemudian kejadian ini sampai kepada Nabi SAW. Maka beliau mendatangi mereka dan bersabda: “Kalian hendak menciptakan kejahiliahan ketika aku masih berada di tengah-tengah kalian“. Lalu beliau membacakan ayat tersebut kepada mereka. Maka mereka menyesali perbuatan yang telah terjadi. Mereka mencampakkan senjata, lalu berdamai dan saling berpelukan. Dari sinilah ulama bersepakat bahwa berpecah belah adalah perbuatan jahiliah dan diharamkan. Tidak dibenarkan apabila umat Islam berdebat dan bermusuhan hanya karena perbedaan suku. Termasuk pula perbedaan cara pandang, perbedaan madzhab dan perbedaan lainnya. Oleh karena itu, ciri orang yang beriman adalah ia pandai menjaga persaudaraan dan menjauhi persilisihan atau perdebatan pada perkara yang khilafiyah. B. Wajib Memelihara Persaudaraan Allah SWT.Ta’la berfirman: اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُو اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, maka damaikanlah antara saudaramu. Dan bertakwalah kepada Allah SWT.agar kamu mendapat rahmat (kasih sayang)’’. (QS. Al-Hujurat: 10). Berkenaan dengan ayat ini Nabi SAW bersabda, “Al-muslimu akhuul muslim’’ (muslim yang satu adalah saudara bagi muslim yang lain) (HR. Bukhari dan Muslim). Persaudaraan sesama muslim bagaikan satu badan, apabila ada salah satu anggota badan yang sakit maka yang lain ikut merasakan. Bahkan semboyan persaudaraan sesama muslim adalah Dami’i wa damuka (darahku adalah darahmu). Memelihara ukhuwah dan persaudaraan merupakan sifat pengikut Rasulullah SAW. Sebagaimana firman Allah SWT.Ta’ala: مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ, وَالَّذِيْنَ مَعَهُ اَشِدَّاءُ عَلَى اْلكُفًَّارِ رُحَمَاءُ بَيْـنَهُمْ... Artinya: “Muhammad itu adalah Rasulullah, dan (sifat) orang-orang yang bersamanya (atau yang mengikutinya), adalah keras terhadap orang-orang kafir, senantiasa berkasih sayang dengan sesama mereka’’ (QS. Al-Fath: 29). Memelihara persaudaraan hukumnya wajib dan memutuskan persaudaraan hukumnya haram. Nabi SAW bersabda: عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِىَّ ص قَالَ: لاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَلاَ تَقَاطَعُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ اِخْوَانًا, وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ اَنْ يَهْجُرَ اَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ.(البخارى ومسلم) Artinya: “Janganlah kalian saling membenci, saling hasud, saling membelakangi, dan saling memutuskan tali persaudaraan, tetapi jadilah kalian hamba Allah SWT.yang bersaudara. Seorang muslim tidak diperbolehkan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari”. (HR. Bukhari). C. Bukti Persaudaraan Persaudaraan dapat kita buktikan dalam dua bentuk, yakni saling tolong-menolong dan saling menasehati 1. Saling Tolong-menolong Allah SWT.Ta’ala berfirman: ...وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى, وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلاِ ثْمِ وَالْعُدْوَانِ... Artinya: “…Saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan dalam ketakwaan. Dan janganlah tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan…” (QS. Al-Maidah: 2). Salah satu bukti persaudaraan adalah “Ta’âwanû ’alal birri wat taqwâ“ (saling tolong-menolong dalam berbuat kebajikan dan takwa). Walaupun berbeda suku, bangsa, berbeda madzhab, organisasi dan status sosial, selama dalam mengerjakan kebajikan dan takwa kita wajib tolong menolong. Orang-orang yang ingkar saja senantiasa bekerjasama dalam berbuat maksiat, mereka melestarikan maksiat dan secara bersama-sama memerangi kebajikan. Oleh karena itu, setiap muslim wajib bekerjasama, bergotong royong dan saling mendukung dalam menegakkan kebajikan dan takwa. Sebaliknya setiap mukmin haram bekerjasama dan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan (Wa lâ ta’âwanû alal itsmi wal udwân). 2. Saling Menasehati Allah SWT.Ta’ala berfirman: ...وَتَوَا صَوْابِالْحَقِّ وَتَوَا صَوْابِالصَّبْرِ. Artinya: “…Saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran” (QS. Al-‘Ashr: 3) Untuk membuktikan persaudaraan sesama muslim, maka kita harus mampu “saling menasehati’’. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-’Ashr ayat 3. Kewajiban kita terhadap sesama muslim adalah saling menasehati, yaitu ketika melihat saudara kita berbuat kesalahan atau ketika melihat saudara kita memiliki kekurangan. Nasehat yang diberikan gunanya untuk menegakkan kebenaran, yaitu agar kita tetap berpegang teguh pada tali Allah. Nasehat yang diberikan kepada sesama muslim harus melahirkan kesabaran. Jangan sampai orang yang kita nasehati jadi putus asa dan merasa hina. D. Penyebab Perpecahan Ada beberapa penyebab perpecahan dalam agama, yaitu : 1. Merasa Bangga Terhadap Golongan Allah SWT.SWT berfirman : وَاِنَّ هَذِهِ اُمَّـتُكُمْ اُمَّـةً وَّاحِدَةً وَّاَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ. فَتَّـقَطَّعُوْا اَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ (المؤمنون: ٥٢-٥١) Artinya: “Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhan-mu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada diri mereka (masing-masing). (QS. Al Mu’minun: 52-53) Allah SWT.menyebutnya dalam Al Qur’an dengan sebutan “Farihuun” (merasa bangga dengan golongannya masing-masing), sebagai pangkal utama perpecahan ditengah umat. Dikatakan dalam hadits Nabi SAW, bahwa ketika syetan telah putus asa menggoda orang mukmin untuk menyembah iblis, syetan justru berupaya merusak hubungan persaudaraan sesama orang-orang mukmin (HR. Muslim). Setan membuat mereka bangga dengan golongan masing-masing dan syetan menggoda mereka agar memandang buruk golongan yang lain. Kita tidak perlu menunjuk orang lain ketika membaca kalimat ini. Tetapi lihat kedalam diri kita sendiri, adakah kebanggaan seperti yang disebutkan. Kita terlalu egois, sehingga tidak mau menerima pendapat orang lain. Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya (Al-Islamu yu’la walaa ya’lu ‘alaihi). Oleh karena itu, hanya Islam yang boleh kita banggakan bukan cara pandang, pendapat, madzhab dan kelompok tertentu didalam Islam. Tidak ada gunanya mempertaruhkan bahwa pendapat kita sendiri paling benar untuk menyalahkan pendapat orang lain. Hanya Islam yang wajib kita banggakan. Rasulullah SAW bersabda: لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا اِلَى عَصَبِـيَّةٍ, وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ, وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ (رواه ابو داود) “Tidaklah termasuk pengikutku orang yang menyeru pada golongan, tidaklah termasuk pengikutku orang yang berperang demi golongan, dan tidak termasuk pengikutku orang yang mati (berkorban) demi golongan” (HR. Abu Dawud). 2. Dengki Terhadap Sesama Rasulullah SAW bersabda: عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِىَ ص.م قَالَ: اِيَّا كُمْ وَالْحَسَدَ, فَاِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ, كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ اَوْ قَالَ الْغُشْبَ (رواه ابوداود). Artinya: “jauhilah oleh kalian sifat dengki, karena sesungguhnya sifat dengki itu dapat menghanguskan amal-amal kebaikan, sebagaimana api dapat menghabiskan kayu bakar”(HR. Abu Dawud). E. Madzhab Yang Selamat Islam tidak melarang perbedaan, tetapi Islam melarang perpecahan dan pertikaian. Perbedaan merupakan Sunatullah, sebagaimana firman-Nya: “Manusia dahulunya hanya satu umat, kemudian mereka berselisih, kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan diantara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu”. (QS.Yunus: 19). Jadi keberagaman atau perbedaan merupakan takdir Allah SWT.agar menjadi ujian bagi hamba-Nya. Beragamnya pendapat, madhzab dan organisasi Islam harus disikapi secara bijaksana. Selama masih sama-sama beriman dan beramal shalih kita tetap hamba Allah. Allah SWT.SWT berfirman: وَلِكُلِّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْـتَِبقُوا الْخَيْرَاتِ... Artinya: “tiap-tiap umat ada cara pandang sendiri, yang ia menghadap terhadapnya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan” (QS. Al Baqarah: 148). Allah SWT.memerintahkan, kendatipun kita berbeda pendapat dan berbeda madhzab, kita justru harus berlomba-lomba dalam beramal shalih dan sebanyak mungkin mengerjakan kebajikan. Manusia mulia karena ketakwaannya (QS. Al Hujurat: 13), bukan karena golongannya. Derajat manusiapun diangkat karena amal shalihnya bukan karena madhzab-nya. Allah SWT.SWT berfirman: وَلِكُلِّ دَرَجتٌ مِّمَّا عَمِلُوْا وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ Artinya: “Dan masing-masing orang diangkat derajatnya dari apa yang diperbuatnya”.(QS. Al An’am: 132). Apabila manusia berbuat kebaikan (amal shalih), maka mereka mulia dimata Allah, sebaliknya apabila manusia berbuat maksiat dan melalaikan perintah Allah, maka hinalah mereka. Ciri utama orang beriman adalah beramal shalih. Jadi apabila seseorang mengaku mengikuti madhzab yang paling baik sekalipun, tetapi ia tidak beramal shalih maka ia tidak memenuhi syarat orang yang beriman. مَنْ تَرَكَ اْلِمَراءَ وَهُوَ يُحِقُّ بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِى اَعْلىَ الْجَنَّةِ وَمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُبْطِلٌ بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِى رَبْضِ الْجَنَّةِ (رواه الطبرانى) Artinya: “Barangsiapa meninggalkan berbantah-bantahan, padahal ia dalam pihak yang benar, pasti dibangunkan untuknya rumah disurga yang paling tinggi. Dan barangsiapa yang meniggalkan berbantah-bantahan, sedangkan ia dalam pihak yang salah, maka akan dibangunkan untuknya rumah ditengah-tengah surga” (HR. Thabrani). Tidak ada maksud lain dari hadits tersebut, kecuali untuk mendorong kita agar menghindari berbantah-bantahan. Berbantah-bantahan merupakan salah satu bentuk bahaya dari lisan. Bentuk-bentuk berbantah-bantahan ini adalah debat kusir, pertengkaran, bangga-banggaan, saling tantang-menantang dan berbicara untuk saling menjatuhkan. Orang yang suka berdebat atau berbantah-bantahan adalah ciri orang yang sombong, egois dan merasa benar sendiri. Oleh karena itu kita mesti mengendalikan lisan dalam bebicara atau berdiskusi jangan sampai terjangkiti sifat sombong, egois dan merasa benar sendiri. Hal ini bukan berarti melarang kita berdialog atau berdiskusi, namun menyuruh kita agar menjauhi berbantah-bantahan dalam berbicara atau berdiskusi. Rasulullah SAW bersabda: ذَرُو اْلِمرَاءَ فَإِنَّهُ لاَ تُفْهَمَ حِكْمَةَ وَلاَ تُؤْمَنُ فِتْـنَـتُهُ “Tinggalkanlah berbantah-bantahan, karena berbantah-bantahan tidak didapati hikmahnya dan tidak dapat dijamin aman dari fitnahnya” (HR. Ath-Thabrani). Sebaik apapun obrolan atau suatu mejelis jika orang-orang didalamnya telah terjerumus dalam berbantah-bantahan maka majelis itu akan menjadi malapetaka. Setiap berbantah-bantahan tidak ada hikmahnya, tidak ada gunanya dan bahkan banyak fitnahnya. Akibat berbantah-bantahan akan menimbulkan sakit hati, tersinggung, dan dapat merusak persaudaraan. Setiap muslim wajib menegakkan persaudaraan dan haram baginya berbantah-bantahan. Jangan Berbantah-Bantahan Dalam Agama Masalah yang sangat penting untuk dihindari adalah berbantah-bantahan dalam agama. Sahabat Malik bin Anas ra., berkata, “berbantah-bantahan itu sama sekali tidak termasuk ajaran agama, karena berbantah-bantahan itu membuat hati menjadi batu dan menimbulkan kedengkian”. Nabi SAW berjanji barangsipa yang menjauhi berbantah-bantahan dalam agama, baik ia dalam keadaan benar atau salah, maka ia akan mendapatkan rumah (istana) di surga. Dalam perkara agama dikenal perkara yang khilafiyah, yakni perbedaan pandangan diantara ulama mujtahid sehingga menimbulkan beberapa madzhab. Berangkat dari situasi ini, kita dilarang memperdebatkan lagi khilafiyah tersebut dan mengadu pendapat madzhab yang mana paling baik. Perilaku yang semacam ini akan merusak agama dan akan merusak persaudaraan. Para ulama mujtahid tidak pernah memberi contoh perdebatan semacam itu, karena mereka telah sepakat dalam perkara yang pokok (ushuliyyah) dan hanya berbeda pada perkara yang cabang (furu’iyyah). Kita dilarang saling menyalahkan, saling membid’ahkan dan saling menuding sesat padahal perbedaan hanya terjadi pada perkara khilafiyah. Dan barangsiapa yang masih berbantah-bantahan, mengungkit-ungkit dan memperdebatkan perkara khilafiyah, maka itulah cerminan orang yang dangkal iman dan ilmunya, serta wajib kita tinggalkan. Penyebab utama perpecahan dalam agama adalah egoisme, kesombongan dan merasa golongannya paling benar. Sebagaimana firman Allah: وَاِنَّ هَذِهِ اُمَّـتُكُمْ اُمَّـةً وَّاحِدَةً وَّاَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ. فَتَّـقَطَّعُوْا اَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ (المؤمنون: ٥٢-٥١) Artinya: “Sesungguhnya (agama tauhid) ini agama kalian semua, agama yang satu. Dan Aku adalah Tuhan-mu maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (Para pengikut rasul itu) yang telah menjadikan agama mereka berpecah-belah, tiap-tiap golongan merasa bangga dengan golongan mereka (masing-masing)” (QS. Al-Mu’minun: 53). Orang yang merasa paling benar dan suka berbantah-bantahan dalam perkara agama adalah ciri orang yang bodoh. Sebagaimana ungkapan Imam Ali ra., “Orang yang ilmunya tinggi maka ia akan rendah hati, (sebaliknya) orang yang ilmunya rendah maka ia akan tinggi hati”. Demikian pula pendapat Ibnul Qayyim, “Betapa banyak orang yang menyalahkan pendapat yang benar, bukan karena pendapat itu salah, namun lebih karena pemahamannya yang tidak benar”. Jadi perbedaan pendapat (khilafiyah) utama yang telah terjadi pada empat madzhab tidaklah layak diperdebatkan lagi, kita harus saling menghargai, saling menghormati dan menjaga ukhuwah islamiyah. Apalagi cuma perbedaan organisasi maka tidak layak bagi kita berbantah-bantahan Rasulullah SAW bersabda: مَاظَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ اَنْ هذَا هُمُ اللهُ اِلاَّ اُوْتُوا الْجَلَلِ (رواه الترمذى) Artinya: “Tidaklah sesat suatu kaum setelah diberikan petunjuk oleh Allah SWT.kecuali mereka mendatangi perdebatan” (HR. At-Tirmidzi). Berbantah-bantahan Karena Ilmu Umar bin Khathab ra., berpesan, “Janganlah mempelajari ilmu karena tiga hal dan janganlah meninggalkannya karena tiga hal. Yaitu, janganlah memepelajari ilmu jika hanya dimaksud untuk berbantah-bantahan, janganlah mempelajari ilmu jika hanya bertujuan untuk berbangga diri, dan janganlah belajar ilmu jika tujuannya untuk riya’ (pamer dan ingin dipuji). Akan tetapi, janganlah meninggalkan mempelajari ilmu karena malu belajar, janganlah meninggalkan mempelajari ilmu karena malas, dan janganlah meninggalkan mempelajari ilmu karena rela (pasrah) dalam kebodohan”. (menurut suatu riwayat pesan Umar ini mengutip nasehat Luqman as., kepada anaknya). Dalam ayat kursi disebutkan bahwa tidaklah seseorang diberi ilmu kecuali atas izin Allah SWT. Jadi tidak layak seorang pun merasa hebat, merasa pintar dan sombong karena ilmunya. Ilmu yang hanya digunakan untuk berbantah-bantahan adalah kehinaan dan keangkuhan dihadapan Allah. Ilmu Allah SWT.yang diberikan pada manusia sangatlah sedikit, oleh karenanya kita tidak boleh merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Nabi Isa as., bersabda: “Barangsiapa yang banyak berbohong maka hilanglah kemuliaannya. Barangsiapa yang suka berbantah-bantahan maka runtuhlah harga dirinya”. Luqman as., menasehati anaknya, “Wahai anakku janganlah berbantah-bantahan dengan Ulama dan janganlah meremehkan mereka, karena mereka akan menolakmu. Dan janganlah pula mendebat orang bodoh sehingga mereka akan membodohkanmu dan mencaci makimu. Tetapi bersabarlah terhadap orang yang diatasmu (orang yang lebih pintar) dan kepada orang yang dibawahmu (orang yang lebih bodoh)”. Rasulullah SAW bersabda: لاَ يَسْـتَكْمِلُ عَبْدُ حَقِيْـقَةُ اْلإِيْمَانِ حَتَّى يَدَعَ الْمِرَاءَ وَاِنْ كَانَ مُحِقًّا Artinya: “Tidak akan sempurna bagi seorang hamba hakikat Iman hingga ia meninggalkan berbantah-bantahan meskipun ia dalam pihak yang benar” (HR. Ibnu Abid-Dunya). MASALAH TAWASUL 1. Definisi tawasul Ada yang perlu dipahami dalam masalah ini yaitu yang Pertama, tawasul termasuk berdoa atau pintu untuk menghadap Allah SWT.swt yaitu yang kita minta adalah Allah SWT. Sementara yang ditawasuli (wasilah) hanya perantara untuk bertaqorrub kepada allah, maka tujuan kita hanya Allah SWT. Dengan demikian siapa yang berkayakinan selain demikian, maka ia telah menyekutukan Allah SWT. Yang Kedua, sesungguhnya yang bertawasul itu tidak bertawasul mengan (menggunakan) perantara (al-mutawassal bih), kecuali karena ia mencintai perantara itu, seraya berkayakinan bahwa allah swt (pun) mencintai perantara tersebut. Jika tidak demikian, ia akan termasuk manusia yang paling jauh dari perantara tersebut, bahkan akan menjadi manusia yang paling benci kepadanya. Ketiga, jika yang bertwasul berkeyakinan bahwa yang ditawasuli (perantara) itu berkuasa memberikan manfaat dan menolak mudharat dengan kekuasaanya sendiri –seperti allah lebih rendah sedikit- maka ia telah menyekutukan Allah SWT. Keempat, bertawasul itu bukan merupakan sesuatu yang lazim atau pokok (dharury), dan ijabah doa tidak tergantung pada tawasul. Menurut asalnya, diijabahnya doa itu lebih ditentukan oleh berdoa kepada Allah swt secara mutlak –meskipun tanpa tawasul. Sebagai mana firman Allah swt. “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.(Q.S. al-Baqarah ayat 186). Tanya : Adakah tawasul yang disepakati oleh kaum muslimin? Jawab : Adapaun tawasul yang disepakati yang tidak ada lagi perbedaan adalah bertawasul dengan amal-amal yang baik. Seperti melaksanakan sholat, membayar zakat, membaca al-Quran dan lain sebagainya, sesungguhnya ia telah bertawasul dengan amal perbuatannya. Dalil yang disepakati itu adalah sabda Nabi tentang peristiwa tiga orang yang tertutup didalam gua oleh batu yang besar. Salah seorang diatara mereka bertawasul kepada Allah dengan perantara kebajikannya kepada kedua orang tuanya. Yang kedua bertawasul dengan dengan menjauhkan diri dri perbuatan keji atau berzina meskipun ia dapat dengan mudah untuk berzina dan berbuat keji jika mau. Sedangkan yang ketiga bertawasul kepada Allah swt lewat perantara amanah atau kejujurannya sebagai pengusaha yang bertanggung jawab atas kesejahteraan karyawannya seraya menjaga harta milik karyawannya untuk kemudian memberikannya secara sempurna pada saatnya yang tepat. Allah mengabulkan permohonan mereka sehingga mereka selamat dari terkurung didalam goa. Tanya : kalau begitu ada tawasul yang di ikhtilafkan (diperselisihkan)? Jawab : banyak kejadian didalam sisi fiqih yang diikhtilafkan (diperselisihkan). Tapi tidak sampai menghujat sesame mereka saling toleran selama itu tidak mengotori akidah yang benar. Adapaun tawasul yang diperselisihkan adalah tawasul yang tidak menggunkan amal ibadah itu sendiri, seperti bertawasul dengan benda (dzawat) dengan perantara manusia. Seperti misalnya berkata seperti ini “Allahumma inni atawassalu ilaika bi nabiyyika” (ya Allah aku bertawassul kepada-Mu dengan perantara Nabi-MU) atau “Allahumma inni atawassalu ilaika bi abi bakr Shiddiq bi Umar ibn khattab bi utsman ibn affan bi aliyyin r.a” . Ketahuilah, orang yang bertawasul kepada allah swt dengan perantara seseorang itu dikarenakan ia mencintainya. Sebab ia berkeyakinan bahwa orang tersebut adalah orang shalih, seorang wali –yang dilindungi oleh Allah swt- dan orang yang utama menurut prasangka baiknya terhadapanya, atau ia berkeyakinan bahwa yang ditawasuli adalah orang yang mencintai Allah, bejihat di jalan-Nya sehingga ia pun dicintai Allah swt. Tanya : Jika memang benar seperti itu, apakah ada dalil nya tentang tawasul kepada dzawat (benda seperti manusia)? Jawab : ada, Berikut ini dalil-dalil tentang bertawasul yang anda maksud. 1) Nabi Adam as bertawasul kepada Allah dengan perantara (wasilah) Nabi Muhammad SAW. Dalam Al-Mustadrak, Imam Hakim, mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Amr bin Muhammad bin manshur al-‘adl, dari Abu Al-Hasan Muhammad bin Ishak bin Ibrahim Al-Hanzhaly, dari Abu Al-Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihry, dari Ismail bin Maslamah, dari Abdurahman bin Zayd bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Umar r.a., bahwa Rosulullah saw bersabda : لماّاقترف ادم الخطيئة قال : يارب! اسالك بحقّ محمد لما غفرت لي,فقال الله : يا ادم ! وكيف عرفت محمدا ولم اخلقه؟ قال :يا رب ! لانّك لمـّا خلقتني بيدك ونفخت فيّ من روخك رفعت راسى فرايت على قوائم العرش مكتوبا لاالهالاّالله محمدرسولالله, فعلمت انّك لم تضف الى اسمك الاّ احبّ الخلق اليك, فقال الله : صدقت يا ادم انّه لاحب الخلق اليّ. ادعنى بحقّه فقد غفرت لك, ولولا محمد ما خلقتك.